DEFINISI ZINA.
Istilah zina sudah masuk dalam bahasa Indonesia, namun untuk memahami hukum syari’at tentang masalah ini kita perlu mengembalikannya ke pengertian menurut bahasa Arab dan syari’at supaya pas dan benar.
Dalam bahasa arab, zina diambil dari kata : زَنَى يَزْنِي زِنىً ، وزِنَاءً yang artinya berbuat fajir (nista).[1]
Sedangkan dalam istilah syari’at zina adalah melakukan hubungan seksual (jima’) di kemaluan tanpa pernikahan yang sah, kepemilikan budak dan tidak juga karena syubhat.[2]
Ibnu Rusyd rahimahullah menyatakan: Zina adalah semua hubungan seksual (jima’) diluar pernikahan yang sah dan tidak pada nikah syubhat dan kepemilikan budak. (Definisi ini) secara umum sudah disepakati para ulama islam, walaupun mereka masih berselisih tentang syubhat yang dapat menggagalkan hukuman atau tidak ?[3]
Istilah zina sudah masuk dalam bahasa Indonesia, namun untuk memahami hukum syari’at tentang masalah ini kita perlu mengembalikannya ke pengertian menurut bahasa Arab dan syari’at supaya pas dan benar.
Dalam bahasa arab, zina diambil dari kata : زَنَى يَزْنِي زِنىً ، وزِنَاءً yang artinya berbuat fajir (nista).[1]
Sedangkan dalam istilah syari’at zina adalah melakukan hubungan seksual (jima’) di kemaluan tanpa pernikahan yang sah, kepemilikan budak dan tidak juga karena syubhat.[2]
Ibnu Rusyd rahimahullah menyatakan: Zina adalah semua hubungan seksual (jima’) diluar pernikahan yang sah dan tidak pada nikah syubhat dan kepemilikan budak. (Definisi ini) secara umum sudah disepakati para ulama islam, walaupun mereka masih berselisih tentang syubhat yang dapat menggagalkan hukuman atau tidak ?[3]
HUKUM ZINA
Perbuatan zina diharamkan dalam syari’at islam, termasuk dosa besar, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'alal : "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk". [al-Isrâ/17:32]
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina". [al-Furqân/25: 68-69]
Dalam hadits, Nabi juga mengharamkan zina seperti yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ : أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ ؟، قَالَ: أَنْ
تَجْعَلَ للَِّهِ نِداً وَهُوَ خَلَقَكَ ، قُلْتُ:ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ:
أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ ، قُلْتُ:ثُمَّ
أَيُّ ؟ قَالَ: أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ
"Aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
Dosa apakah yang paling besar ? Beliau menjawab : Engkau menjadikan
tandingan atau sekutu bagi Allah , padahal Allah Azza wa Jalla telah
menciptakanmu. Aku bertanya lagi : “Kemudian apa?” Beliau menjawab:
Membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.” Aku bertanya
lagi : Kemudian apa ? Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab
lagi: Kamu berzina dengan istri tetanggamu".[4,5]
Sejak dahulu hingga sekarang, kaum muslimin sepakat bahwa perbuatan zina itu haran. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullaht berkata : Saya tidak tahu ada dosa yang lebih besar dari zina (selain) pembunuhan.[6]
HUKUMAN PEZINA.
Pelaku zina ada yang berstatus telah menikah (al-Muhshân) dan ada pula yang belum menikah (al-Bikr). Keduanya memiliki hukuman berbeda.
Hukuman pezina diawal Islam berupa kurungan bagi yang telah menikah dan ucapan kasar dan penghinaan kepada pezina yang belum menikah (al-Bikr). Allah Azza wa Jalla berfirman : " Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". [an-Nisâ`/ 4:15-16]
Kemudian sanksi itu diganti dengan rajam (dilempar batu) bagi yang telah menikah (al-Muhshân) dan dicambuk seratus kali bagi yang belum menikah (al-Bikr) dan ditambah pengasingan setahun.
a. Pezina al-Muhshân
Pezina yang pernah menikah (al-Muhshân) dihukum rajam (dilempar dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits mutawatir dan ijma’ kaum muslimin[7]. Ayat yang menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Qur`an meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anh menjelaskan dalam khuthbahnya :
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ عَلَى نَبِيِّهِ الْقُرْآنَ وَكَانَ فِيْمَا
أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا
وَعَقَلْنَاهَا وَرَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرَجَمْنَا
بَعْدَهُ وَ أَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُوْلُوْا :
لاَ نَجِدُ الرَّجْمَ فِيْ كِتَابِ الله فَيَضِلُّوْا بِتَرْكِ فَرِيْضَةٍ
أَنْزَلَهَا اللهُ وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ
عَلَى مَنْ زَنَا إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ
الْحَبَل أَوْ الإِعْتِرَاف.
"Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada NabiNya dan
diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami telah
membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah melaksanakan hukuman rajam dan kamipun telah
melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah
berlalu lama, akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak
mendapatkan hukuman rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat
lantaran meninggalkan kewajiban yang Allah Azza wa Jalla telah
turunkan. Sungguh (hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab
Allah untuk orang yang berzina apabila telah pernah menikah
(al-Muhshân), bila telah terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau
pengakuan sendiri". [8]
Ini adalah persaksian khalifah Umar bin al-Khatthâb Radhiyallahu 'anhu diatas mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dihadiri para sahabat sementara itu tidak ada seorangpun yang mengingkarinya [9]. Sedangkan lafadz ayat rajam tersebut diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Mâjah berbuny :
وَالشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتَهْ نَكَلاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
"Syaikh lelaki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah
keduanya sebagai balasan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Allah maha
perkasa lagi maha bijaksana [10].
Sedangkan dasar hukuman rajam yang berasal dari sunnah, maka ada riwayat mutawatir dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik perkataan maupun perbuatan yang menerangkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah merajam pezina yang al-Muhshân (ats-Tsaib al-Zâni)[11]
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Para ulama telah berijma’ (sepakat) bahwa orang yang dihukum rajam, terus menerus dilempari batu sampai mati.[12]
Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: Kewajiban merajam pezina al-muhshân baik lelaki atau perempuan adalah pendapat seluruh para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama setelah mereka diseluruh negeri islam dan kami tidak mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat diantara para ulama) kecuali kaum Khawarij [13].
Meski demikian, hukuman rajam ini masih saja diingkari oleh orang-orang Khawarij dan sebagian cendikiawan modern padahal mereka tidak memiliki hujjah dan hanya mengikuti hawa nafsu serta nekat menyelisihi dalil-dalil syar’i dan ijma’ kaum muslimin. Wallahul musta’an.
Hukuman rajam khusus diperuntukkan bagi pezina al-muhshân (yang sudah menikah dengan sah-red) karena ia telah menikah dan tahu cara menjaga kehormatannya dari kemaluan yang haram dan dia tidak butuh dengan kemaluan yang diharamkan itu. Juga ia sendiri dapat melindungi dirinya dari ancaman hukuman zina. Dengan demikian, udzurnya (alasan yang sesuai syara’) terbantahkan dari semua sisi . dan dia telah mendapatkan kenikmatan sempurna. Orang yang telah mendapatkan kenikmatan sempuna (lalu masih berbuat kriminal) maka kejahatannya (jinayahnya) lebih keji, sehingga ia berhak mendapatkan tambahan siksaan[15].
Syarat al-Muhshân.
Rajam tidak diwajibkan kecuali atas orang yang dihukumi al-Muhshân. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa seorang dihukumi sebagai al-Muhshaan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Pernah melakukan jima’ (hubungan seksual) langsung di kemaluan. Dengan demikian, orang yang telah melakukan aqad pernikahan namun belum melakukan jima’ , belum dianggap sebagai al-Muhshân.
2. Hubungan seksual (jima’) tersebut dilakukan berdasarkan pernikahan sah atau kepemilikan budak bukan hubungan diluar nikah
3. Pernikahannya tersebut adalah pernikahan yang sah.
4. Pelaku zina adalah orang yang baligh dan berakal.
5. Pelaku zina merdeka bukan budak belian.
Dengan demikian seorang dikatakan al-Muhshân, apabila kriteria diatas sudah terpenuhi.[16]
b. Pezina Yang Tidak al-Muhshân
Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi kriteria al-muhshân, maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
(cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera
(cambuk)". [An-Nûr/24:2]
Al-Wazîr rahimahullah menyatakan : “Para ulama sepakat bahwa pasangan yang belum al-muhshân dan merdeka (bukan budak-red), apabila mereka berzina maka keduanya dicambuk (dera), masing-masing seratus kali.
Hukuman mati (dengan dirajam-red) diringankan buat mereka menjadi hukuman cambuk karena ada udzur (alasan syar’i-red) sehingga darahnya masih dijaga. Mereka dibuat jera dengan disakiti seluruh tubuhnya dengan cambukan. Kemudian ditambah dengan diasingkan selama setahun menurut pendapat yang rajah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
خُذُوْا عَنِّيْ ، خُذُوْا عَنِّيْ ، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً ، الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جِلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ .
"Ambillah dariku! ambillah dariku! Sungguh Allah telah menjadikan bagi
mereka jalan, yang belum al-muhshaan dikenakan seratus dera dan
diasingkan setahun." [HR Muslim].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan : “Apabila tidak muhshân , maka dicambuk seratus kali, berdasarkan al-Qur`an dan diasingkan setahun dengan dasar sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. [17].
KEKHUSUSAN HUKUMAN PEZINA.
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan tiga karakteristik khusus bagi hukuman zina :
1. Hukuman yang keras, yaitu rajam untuk al-Muhshân dan itu adalah hukuman mati yang paling mengenaskan dan sakitnya menyeluruh keseluruh badan. Juga cambukan bagi yang belum al-muhshân merupakan siksaan terhadap seluruh badan ditambah dengan pengasingan yang merupakan siksaan batin.
2. Manusia dilarang merasa tidak tega dan kasihan terhadap pezina
3. Allah memerintahkan pelaksanaan hukuman ini dihadiri sekelompok kaum mukminin. Ini demi kemaslahatan hukuman dan lebih membuat jera.
Hal ini disampaikan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman" [an-Nûr/24:2]
SYARAT PENERAPAN HUKUMAN ZINA.
Dalam penerapan hukuman zina diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Pelakunya adalah seorang mukallaf yaitu sudah baligh dan berakal (tidak gila).
2. Pelakunya berbuat tanpa ada paksaan.
3. Pelakunya mengetahui bahwa zina itu haram, walaupun belum tahu hukumannya.[18]
4. Jima’ (hubungan seksual) terjadi pada kemaluan.
5. Tidak adanya syubhat. Hukuman zina tidak wajib dilakukan apabila masih ada syubhat seperti menzinahi wanita yang ia sangka istrinya atau melakukan hubungan seksual karena pernikahan batil yang dianggap sah atau diperkosa dan sebagainya.
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan : “Semua para ulama yang saya hafal ilmu dari mereka telah berijma’ (bersepakat) bahwa had (hukuman) dihilangkan dengan sebab adanya syubhat.” [19]
6. Zina itu benar-benar terbukti dia lakukan. Pembuktian ini dengan dua perkara yang sudah disepakati para ulama yaitu:
6.1. Pengakuan dari pelaku zina yang mukallaf dengan jelas dan tidak mencabut pengakuannya sampai hukuman tersebut akan dilaksanakan.
6.2. Persaksian empat saksi yang melihat langsung kejadian, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu." [an-Nûr/24:13]
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi.…."
[An-Nûr/24:4]
Persaksian yang diberikan oleh para saksi ini akan diakui keabsahannya, apabila telah terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Mereka bersaksi pada satu majlis
b. Mereka bersaksi untuk satu kejadian perzinahan saja
c. Menceritakan perzinahan itu dengan jelas dan tegas yang dapat menghilangkan kemungkinan lain atau menimbulkan penafsiran lain seperti hanya melakukan hal-hal diluar jima’.
d. Para saksi adalah lelaki yang adil
e. Tidak ada yang menghalangi penglihatan mereka seperti buta atau lainnya.
Apabila syarat-syarat ini tidak sempurna, maka para saksi dihukum dengan hukuman penuduh zina. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik" [an-Nûr/24:4]
Penetapan terjadinya perbuatan zina dan pemutusan saksi dengan berdasarkan persaksian dan pengakuan si pelaku yang disebutkan diatas, telah disepakati oleh para ulama. Dan para ulama masih berselisih pendapat tentang hamil diluar nikah. Bisakah hal ini dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan bahwa telah terjadi perbuatan zina atau orang ini telah melakukan perbuatan zina sehingga berhak mendapatkan sanksi ?
Para ulama berselisih menjadi dua pendapat :
Pertama : Pendapat jumhur yaitu madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah (hanabilah) menyatakan bahwa hukuman pezina tidak ditegakkan atau dilaksanakan kecuali dengan pengakuan dan persaksian saja.
Kedua : Pendapat madzhab Malikiyah menyatakan hukuman pezina dapat ditegakkan dengan indikasi kehamilan.
Yang rajih dari dua pendapat diatas adalah pendapat madzhab Malikiyah sebagaimana dirajihkan syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau rahimahulllah menyatakan bahwa seorang wanita dihukum dengan hukuman zina apabila ketahuan hamil dalam keadaan tidak memiliki suami, tidak memiliki tuan (jika ia seorang budak-red) serta tidak mengklain adanya syubhat dalam kehamilannya.[20]
Beliau rahimahullah pun menyatakan : “Inilah yang diriwayatkan dari para khulafâ’ rasyidin dan ia lebih pas dengan pokok kaedah syari’at.[21]
Dalil beliau rahimahullah dan juga madzhab Malikiyah adalah pernyataan Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anhu dalam khutbahnya :
وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَلَى مَنْ زَنَا
إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ
الإِعْتِرَاف.
"Sungguh rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah atas orang yang
berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshaan), bila tegak padanya
persaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri" [22].
Jelaslah dari pernyataan Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu 'anhu diatas bahwa beliau menjadikan kehamilan sebagai indikasi perzinahan dan tidak ada seorang sahabatpun waktu itu yang mengingkarinya.
al-Hâfidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari riwayat Umar Radhiyallahu 'anhu diatas dengan menyatakan: (Dalam pernyataan Umar diatas) ada pernyataan bahwa wanita apabila didapati dalam keadaan hamil tanpa suami dan juga tidak memiliki tuan, maka wajib ditegakkan padanya hukuman zina kecuali bila dipastikan adanya keterangan lain tentang kehamilannya atau akibat diperkosa.[23]
Referensi:
1. Hâsyiyah ar-Raudh al-murbi’ syarh Zad al-Mustaqni’, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qâsim, cetakan ke-6 tahun 1417 H tanpa penerbit.
2. al-Mulakhash al-Fiqhiy, Syaikh Shalih bin Fauzân ali Fauzân, cetakan pertama tahun 1422 H, Ri’asah Idaarah al-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’.
3. Al-Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin at-Turki, cetakan kedua tahun 1413H, penerbit Hajar
4. Tas-hîlul-Ilmâm bi Fiqhi Lil Ahâdits Min Bulûgh al-Marâm, Syaikh Shalih bin Fauzân ali Fauzân, cetakan pertama tahun 1427 H. tanpa penerbit.
5. Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’ , Syaikh Muhamad bin shâlih al-Utsaimin, cetakan pertama tahun 1427 H, Dar ibnu al-Jauzi.
6. Taisîr al-Fiqhi al-Jâmi’ Li Ikhtiyârât al-Fiqhiyah Lisyaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, DR. Ahmad Muwâfi cetakan pertama tahun 1416 H, Dar Ibnu al-Jauzi.
7. Fathul Bâri dll.
________
Footnotes
[1]. al Muhîth
[2]. Hâsyiayah ar-Raudh al-murbi’ 7/312
[3]. Bidâyah al-Mujtahid 2/529 dan lihat ar-Raudh al-Murbi’ syarh Zâd al-Mustaqni’ 7/312 dan al-Mulakhash al-Fiqh hal. 528
[4]. HR al-Bukhâri dalam kitab al-Adab, Bab Qatlul-Walad Khasy-yata ayya`kula ma’ahu 10/33 dan Muslim dalam kitab al-Iimân 2/80.
[5]. Lihat lebih lanjut kitab al-Mughni 12/308
[6]. ar-Raudh al-Murbi’ 7/312
[7]. Lihat Tashîlul-Ilmâm Bi Fiqhi Lil Ahâdîts Min Bulûgh al-Marâm, Shalih al-fauzân 5/230
[8]. HR al-Bukhâri dalam kitab al-Hudûd, Bab al-I’tirâf biz-Zinâ 1829 dan Muslim dalam kitab al-Hudûd no. 1691.
[9]. Dari pernyataan Syeikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhu al-Mumti’ 14/229.
[10]. HR Ibnu Mâjah kitab al-Hudûd Bab ar-Rajmu dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 2/81
[11]. Tas-hîlul-Ilmâm bi Fiqhi Lil Ahâdîts Min Bulûgh al-Marâm, Syaikh Shâlih al-Fauzân 5/230.
[12]. Dinukil dari al-Mughni 12/310.
[13]. Al-Mughni 12/309..
[14]. Cuplikan dari ar-Raudh al-Murbi’ 7/312.
[15]. Cuplikan dari al-Mulakhas al-Fiqhi 2/529.
[16]. Lihat penjelasan para ulama tentang hal ini dalam al-Mughni 12/314-318.
[17]. Majmû’ Fatâwâ 28/333 dinukil dari Taisîr al-Fiqhi al-Jâmi’ Li Ikhtiyârât al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islâm Ibnu Taimiyah, DR. Ahmad Muwâfi 3/1445.
[18]. Syarhu al-Mumti’ 14/207-210
[19]. al-Mulakhas al-Fiqhiy, 530-531
[20]. Lihat Majmu’ Fatawa 28/334
[21]. ibid
[22]. HR al-Bukhaari dalam kitab al-Hudud, Bab al-I’tiraf biz-Zinaa 1829 dan Muslim dalam kitab al-Hudud no. 1691.
[23]. Fathu al-Baari 12/160
No comments:
Post a Comment