A. Pengertian Li’an
Kata li’an menurut bahasa berarti
alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat yang terjadi di antara
dua orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syar’i, li’an ialah
sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya
telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai
anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan
suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong, [1]diantara
definisi yang representatif, yang mudah diingat adalah: “sumpah suami
yang menuduh istrinnya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu
mendatangkan empat orang saksi”.
Dalam definisi yang sederhana
tersebut terdapat beberapa kata kunci yang akan menjelaskan hakikat dari
perbuatan li’an itu, yaitu sebagai berikut:
Pertama: kata
“sumpah”. Kata ini menunjukkan bahwa li’an itu adalah salah satu bentuk
dari sumpah atau kesaksian kepada Allah yang jumlahnya lima kali. Empat
yang pertama kesaksian bahwa ia benar dengan ucapannya dan kelima
kesaksian bahwa laknat Allah atasnya bila ia berbohong.
Kedua:
kata “suami” yang dihadapkan pada “Istri”. Hal ini mengandung Arti bahwa
Li’an berlaku antara suami-istri, dan tidak berlaku diluar lingkungan
keduannya. Orang yang tidak terikat dalam tali pernikahan saling
melaknat tidak disebut istilah Li’an.
Ketiga: kata “menuduh
berzina”, yang mengandung arti bahwa sumpah yang dilakukan oleh suami
itu adalah bahwa istrinnya itu berbuat zina, baik ia sendiri mendapatkan
istrinnya berbuat zina atau meyakini bayi yang dikandung istrinnya
bukanlah anaknya. Bila tuduhan yang dilakukan suami itu tidak ada
hubungannya dengan zina atu anak yang dikandung, tidak disebut dengan
Li’an.
Keempat: kata “suami tidak mampu mendatangkan empat orang
saksi”. Hal ini mengandung arti bahwa seandainnya dengan tuduhannya itu
suami mampu mendatangkan empat orang saksi sebagaimana dipersyaratkan
waktu menuduh zina, tidak dinamakan dengan Li’an, gtetapi melaporkan apa
yang terjadi untuk diselesaikan oleh Hakim.
Pada dasarnya apabila
ada seorang suami dengan nyata-nyata melihat istrinya melakukan
perzinaan secara langsung sang suami tidak bisa langsung memvonis sang
istri melakukan perbuatan zina, akan tetapi dia harus mendatangkan 4
orang saksi untuk kehati-hatian dan juga sumpah yang harus diucapkan
oleh pihak suami dan istri, karena semua itu telah diatur dalam Islam,
agar lebih dimengerti lagi mengenai bagaimana Li’an itu dan hokum-hukum
penyelesaian yang telah ditetapkan oleh Islam, berikut akan kami ulas
dalam makalah kami.
Pada dasarnya bila seseorang menuduh perempuan
baik-baik berbuat zina dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi,
meski dikenai haad qazaf, yaitu tuduhan zina tanpa saksi. Had qadzaf itu
adalah 80x Dera[2]. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat an-Nur ayat 4.
“Orang-orang
yang menuduh perempuan baik-perempuan baik (berbuat zina)dan mereka
tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan
pyluh kali dera dan janganlah kamu trima kesaksiannya untuk selamannya
dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.
Apabila seorang
laki-laki menuduh isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain,
kemudian isterinya menganggap bahwa tuduhannya bohong, maka pihak suami
harus dijatuhi hukuman dera, kecuali dia mempunyai bukti yang kuat atau
melakukan li’an.
Adapun prosesi Li’an itu secara menyeluruh adalah sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat an-Nur (24) ayat 6-9.
“Dan
orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang
itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia
adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa
la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.
Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas
nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang
yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur: 6-9).
B. Kekuatan Hukum Li’an
Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :
1. Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:
Dari
Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi saw memutuskan hukum di antara
seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara
keduanya.”
2. Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari
Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang
suami isteri yang saling bermula’anah di mana mereka diceraikan antara
keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.”
3. Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar
Dari
Ayyub bin Sa’id bin Jubair, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada
Ibnu Umar ra, “(Wahai Ibnu Umar), bagaimana kedudukan seorang suami yang
menuduh isterinya berbuat serong?” Jawab Ibnu Umar, “Nabi saw pernah
menceraikan antara dua orang yang bersaudara (yaitu suami isteri) dari
Bani ’Ajlan, dan Beliau bersabda (kepada keduanya), “Allah mengetahui
bahwa seorang di antara kalian berdua pasti berbohong, karena itu adakah
di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka berdua enggan
(memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa
salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu, adakah
di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka enggan, lalu Nabi
pun bersabda, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian
berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau
bertaubat?” Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran Beliau).
Maka selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya.” Ayyub berkata,
“Kemudian Amr bin Dinar mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya di dalam
hadist tersebut ada sebagian yang saya perhatikan belum engkau
sampaikan, yaitu laki-laki yang bermula’anah itu menanyakan, “Mana
hartaku (maharku)?” Dijawab (oleh Nabi saw), “Tidak ada harta (mahar)
bagimu. Jika kamu jujur, berarti kamu sudah pernah bercampur dengannya;
jika kamu bohong, maka ia (mahar) itu kian jauh darimu.”
4. Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
Dari
Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan
untuk mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia
(suami) dipisahkan dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka
berdua, kemudian anak itu Rasulullah serahkan kepada isterinya.”
5. Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.
Dari
Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah
Nabi saw, sesudah suami isteri yang bermula’anah dicerai, padahal sang
isteri hamil maka anaknya dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian sunnah
Beliau saw berlaku mengenai hak warisnya, dimana ia (ibu tersebut)
berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun berhak menjadi ahli
warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.”
C. Hukum dan Dasar hokum Li’an
Dari
penjelasan ayat-ayat yang disebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa
hokum li’an bagi suami yang yakin atau berat dugaannya akan kebenaran
tuduhannya adalah mubah atau boleh. Namun bila suami tidak kuat dugannya
atas kebenaran tuduhannya itu, maka hokum li’an itu baginnya adalah
haram. Adapun dasar dari hokum dari penjelasan ayat-ayat yang berkenaan
dengan li’an tersebut diatas.
D. Tujuan dan hikmah hokum
Adapun
tujuan dari diperbolehkannya li’an tersebut adalah untuk memberikan
kemudahan kepada suami yang yakin akan kebenaran tuduhan zina yang
dilakukannya, sedangkan dia secara hokum formal tidak dapat berbuat
apa-apa dalam membuktikan kebenarannya. Hikmahnya adalah melepaskan
ancaman dari suami yang yakin akan kebenarannya, yang hokum formal tidak
dapat membantunnya.
E. Akibat Li’an
Bila setelah prosesi li’an sebagaimana disebutkan diatas, berlakulah akibat hokum sebagai berikut:
1) Suami yang mengucapkan li’an bebas dari ancaman had qazaf dalam arti tuduhan yang dilemparkan itu dinyatakan benar.
2) Perzinaan yang dituduhkan suami berarti betul terjadi atau ternyata secara hokum istri telah berzina.
3)
Hubungan nasab antara suami yang men-li’an dengan anak yang
dikandung istrinya itu terputus dan untuk selanjutnya nasab anak
dihubungkan kepada ibunya.
4) Istri yang di-li’an bebas ancaman had zina,dangan begitu secara hokum dia tidak betul berbuat zina.
5)
Perkawinan di antara keduanya putus untuk selamanya. Tentang
berlaku perceraian untuk selamanya berdasarkan kepada hadis tentang
kasus li’an yang berasal dari sahl bin said yang di keluarkan abu daud
yang berbunyi:
“Tidak berlaku sunnah tentang suami istri yang saling meli’an bahwa keduanya tidak boleh bertemu untuk selamanya”
Juga Hadits Nabi yang berasal dari Ibnu Umar muttafaq alaih yang bunyinya.
“Bahwasannya
Rosul Allah berkata kepada dua orang yang telah saling meli’an: Allah
yang akan menetapkan hokum diantara kamu, salah seorang diantara kamu
adalah bohong dan tidak ada jalan untukmu kepadannya”.
Dari proses
peradilan tersebut nyatalah bahwa apa yang dihasilkanoleh pengadilan
adalah kebenaran secara formal, bukan kebenaran secara hakiki karena
menurut hakikinya pasti salah seorang di antara keduanya itu berbohong.
Dalam hal ini hanya allah yang tahu dan dia yang akan mengadili secara
materil.
F. Li’an dalam Perspektif Al-Qur’an
Dalam
Al-qur’an, permasalahan li’an disebutkan dalam beberapa ayat dalam surat
An-Nur, yaitu ayat 6 sampai 9. Dalam ayat-ayat itu diterangkan
diantaranya mengenai kasus li’an, pihak yang bermula’anah, serta
konsekwensi hukumnya sebagaimana yang telah penulis paparkan dalam bab
sebelumnya.
agak di kasih jarak bos biar ga bingung
ReplyDeleteTerimakasih atas penjelasannya
ReplyDeleteTerimakasih atas penjelasannya
ReplyDeleteThanks ... for undestan ...
ReplyDeleteDikasi jarak tolonggg
ReplyDeletekalo bisa dikasih footnote
ReplyDelete