Bangsa sapi yang ada didunia saat ini sebenarnya merupakan produk
domestikasi (penjinakan) sapi mulai jaman promitif. Kemudian digolongkan
menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama, Bos Indicus
Kelompok sapi ini berkembang baik di India yang kemudian berkembang ke
daratan Asia Tenggara (salah satunya, Indonesia), Afrika, Amerika dan
Australia. Disebut juga sapi ‘Zebu’ (berpunuk), dengan salah satu
keturunannya di Indonesia kita kenal dengan nama Peranakan Ongole dan
Brahman, di Amerika dikenal dengan sebutan American Brahman.
Kelompok kedua, Bos Taurus
Menurunkan kelompok sapi perang dan potong di daratan Eropa, belakangan
menyebar ke Amerika, Australia dan Selandia Baru. Indonesia juga turut
mencoba mengembangkannya. Jenis-jenisnya antara lain : Aberdeen Angus,
Hereford, Shorthorn, Charolais, Simmental dan Limousine.
Kelompok ketiga, Bos Sondaicus (Bos Bibos)
Merupakan kelompok yang berkembang di Indonesia, yang merupakan
keturunan banteng. Jenisnya antara lain : Sapi Jawa, Sapi Sumatera, Sapi
Bali dan sapi-sapi lokal lainnya.
Beberapa strain ternak sapi potong antara lain :
A. Santa Gertrudis, Merupakan persilangan antara induk Shorthorn dan pejanta Brahman. Berkembang baik di seputar wilayah Texas (Amerika)
B. Beefmaster, Persilangan antara
Brahman, Hereford dan Shorthorn dengan perbandingan genetis = 50 % : 25 %
: 25 %. Sama seperti Santa Gertrudis, sapi ini berkembang baik di
daratan Texas (Amerika).
C. Droughtmaster, Memiliki
perbandingan genetis = 3/7 Brahman dan 4/7 Shorthorn. Performancenya
sama dengan Santa Gertrudis, hanya saja genetic Brahman lebih dominan.
D. American Brahman, Termasuk golongan
sapi zebu keturunan Kankrey, Ongole, Gir, Krishna, Hariana dan Bhagari.
Masuk Amerika tahun 1854 dan dkembangkan di wilayah Lousiana. Tipe
potong yang baik dengan pertumbuhan cepat dengan pakan sederhana.
E. Peranakan Ongole, Di Indonesia dikenal dengan sebutan Sapi Bengggala. Berasal dari daratan India. Termasuk sapi potong dan kerja.
F. Aberdeen Angus, Berasal dari
Scotlandia Utara, masuk Indonesia sekitar tahun 1973. Biasanya berbulu
hitam, agak panjang, keriting dan halus. Tidak bertanduk dengan tubuh
panjang dan kompak. Tubuh rata, lebar, dalam dan pendek. Disilangkan
dengan sapi Brahman akan menghasilkan Brahman Angus (Brangus)
G. Hereford, Berasal dari Inggris.
Warna bulu merah, kecuali pada muka, dada, badan, perut bawah, keempat
kaki sebatas lutut, bahu dan ekor berwarna putih. Sehingga dikenal pula
sebagai white faced cattle. Postur tubuh rendah tetapi memiliki urat
daging yang padat dan tegap.
Bobot badan jantan dewasa sekitar 850 kg dan betina dewasa 650 kg. Lebih
sesuai bila digemukkan dengan system pastur atau padang gembalaan
karena cara merumput yang baik. Tidak cocok dikembangkan di Indonesia.
H. Simmental, Berasal dari
Switzerland. Ukuran tubuh besar, perototan bagus dengan penimbunan lemak
bawah kulit yang rendah. Warna bulu umumnya krem agak coklat atau
sedikit merah, kecuali pada muka, keempat kaki sebatas lutut dan ujung
ekor berwarna putih.
I. Limousine, Berasal dari Prancis,
merupakan tipe potong dengan warna bulu cokelat dengan warna agak terang
pada sekeliling mata dan kali mulai lutut kebawah. Tubuh besar dan
panjang, pertumbuhan bagus.
J. Brahman Cross, Merupakan hasil
persilangan antara sapi Brahman dengan sapi jenis lain. Dikembangkan di
Amerika dan Australia. Diimpor dari Australia. Memiliki pertumbuhan
baik, konformasi karkas yang ideal, tahan iklim tropis dan lalat/kutu.
Umumnya sapi ini memiliki warna gelap keabu-abuan atau kemerahan atau
hitam. Pada jantan warnanya lebih gelap daripada betina.
K. Sapi Lokal Indonesia, Jenis-jenis
sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli
Indonesia dan sapi yang diimpor. Dari jenis-jenis sapi potong itu,
masing-masing mempunyai sifat-sifat yang khas, baik ditinjau dari bentuk
luarnya (ukuran tubuh, warna bulu) maupun dari genetiknya (laju
pertumbuhan). Sapi-sapi Indonesia yang dijadikan sumber daging adalah
sapi Bali, sapi Ongole, sapi PO (peranakan ongole) dan sapi Madura. Dari
populasi sapi potong yang ada, yang penyebarannya dianggap merata
masing-masing adalah: sapi Bali, sapi PO, Madura dan Brahman. Sapi Bali
berat badan mencapai 300-400 kg. dan persentase karkasnya 56,9%. Ternak
sapi lokal Indonesia juga memiliki daya tahan terhadap lingkungan tropis
dan serangan caplak, kutu atau tungau yang biasa terjadi diwilayah
tropis
Peternak sebagai salah satu stake holder persapian Indonesia, saat ini terbagi atas tiga golongan :
a. Peternak Sapi
Kumpulan rakyat Indonesia yang melakukan model pengusahaan dan tataniaga
ternak sapi potong dan sapi perah dengan penjiwaan yang dalam. Skala
usaha dari kecil sampai besar dilakukan sepenuh hati dengan tujuan agar
perkembangan usaha ternak sapi dapat terencana dan terarah. Orientasi
reproduktif dilakukan untuk menambah populasi ternak melalui perkawinan
alam, inseminasi buatan atau transfer embrio
b. Pemerhati Ternak Sapi
Kumpulan rakyat Indonesia yang membagi perhatian lebih bagi perkembangan
peternakan sapi potong dan perah. Usaha, kebijakan dan dukungan yang
dilakukan adalah semata-mata untuk kepentingan perkembangan persapian
nasional. Perhatian melalui penelitian, pengembangan pakan ternak, studi
komparasi, pengembangan uji bibit ternak, pengembangan keilmuan, studi
tentang penanganan produk peternakan, pengembangan melalui
perkumpulan/group/kelompok serta model pengembangan lainnya
c. Pebisnis Sapi
Merupakan kumpulan masyarakat Indonesia yang melakukan usaha dan
tataniaga peternakan sapi potong dan sapi perah tanpa jiwa dan kecintaan
terhadap ternak. Nilai-nilai kapitalis telah mengaburkan konsep
perkembangan persapian nasional yang tertata, terencana dan terarah.
Sebagian besar usaha yang dilakukan hanya kepentingan material semata
dan tidak pernah berfikir mengenai kegiatan reproduktif yang mantap.
Kendali mereka terhadap pengambilan kebijakan, penghalalan segala cara
dan model usaha yang dilakukan sangat tidak mendukung kemandirian
peternakan sapi Indonesia
Warna yang digurat oleh para stake holder akhirnya menjadikan kondisi
persapian Indonesia menjadi seperti saat ini. Berdasarkan analisa makro
yang disajikan oleh Departemen Pertanian RI (2009) menunjukkan betapa
memprihatinkan kondisi persapian Indonesia yang sudah mulai terbangun
sejak jaman Majapahit. Indonesia yang merupakan negara agraris dengan
seluruh potensi keanekaragaman hayati terpaksa takluk pada
ketidakmampuan dalam menyediakan protein hewani asal daging dan susu
secara mandiri. Sejarah panjang persapian Indonesia yang tertulis pada
“Prasasti Nandini Nusantara” memberi nilai merah pada rapor kemampuan
kita dalam melaksanakan manajemen usaha ternak sapi. Sampai saat ini,
pencapaian populasi ternak sapi potong dan sapi perah masih belum mampu
memberi kemandirian produktifitas untuk memenuhi permintaan masyarakat.
Analisa Makro Ternak Sapi Indonesia tahun 2005 - 2008
Uraian
|
Unit
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
Populasi | Juta ekor |
10,6
|
10,9
|
11,5
|
11,9
|
Pemotongan Ternak *) | Juta ekor |
1,6
|
1,8
|
1,8
|
2
|
Impor Ternak | Juta ekor |
0,3
|
0,3
|
0,5
|
0,5
|
Impor Daging | Ribu ton |
12,5
|
62,0
|
64,0
|
70,0
|
*) estimasi pemotongan betina produktif sebanyak 200.000/tahun
*) replacement/pengganti induk sapi potong sebanyak 1,3 juta ekor (LJP, 2008)
(Sumber : Deptan, Juli 2009)
Jumlah populasi ternak sapi potong yang kurang dari 5% jumlah penduduk
Indonesia menunjukkan betapa ketidakseriusan para stake holder dalam
mengembangkan peternakan sapi potong Indonesia. Pemotongan betina
produktif yang rata-rata mencapai 200.000 ekor per tahun memberi
penegasan betapa kita masih jauh dari niatan untuk berswasembada daging
dan air susu sapi. Nilai impor daging dari luar negeri yang masih
berpotensi polemik terus mengalir ditambah dengan membanjirnya impor
ternak sapi terutama dari Australia merupakan bukti betapa negara ini
lebih senang disebut ‘shopaholic of cattle‘ daripada ‘producer of cattle‘.
Kondisi peternakan rakyat yang senang dengan ternak lokal (brahman,
simmental, limousine, brangus, angus, peranakan ongole, bali, madura,
grati) yang memiliki nilai reproduktif tinggi tentunya berbeda dengan
jenis ternak impor dari Australia yang merupakan Brahman Cross (ternak
Brahman yang disilangkan dengan beberapa jenis ternak lain, seperti
Shorthorn, Hereford, Braford atau Drougmaster) dan lebih mengarah pada
‘ternak hibrida’ sehingga nilai reproduktifnya terbilang rendah.
Nilai merah lain yang tertoreh adalah masih rendahnya nilai konsumsi
perkapita rakyat Indonesia terhadap produk-produk peternakan
dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama negara jiran. Data
Apfindo (Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia) (2007)
menunjukan bahwa pangsa konsumsi daging nasional didominasi oleh daging
ayam sebesar 56 %, sapi 23%, babi 13 %, kambing dan domba 5% dan lainnya
sekitar 3 %. Konsumsi protein hewani di Indonesia jika dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN, masih tergolong rendah. Rata-rata konsumsi
ayam di ASEAN 7.5 kg/kapita/tahun, Indonesia 4.5 kg/kapita/tahun
menduduki peringkat ke lima setelah Filipina 8.5 kg/kapita/tahun,
Kamboja menduduki peringkat terendah kurang dari 2.0 kg/kapita/tahun,
dan Malaysia merupakan konsumen terbesar 38.5 kg/kapita/tahun. Konsumsi
telur pun tidak jauh beda, Indonesia 67 butir/kapita/tahun sedangkan
Malaysia 311 butir/kapita/tahun (FAO : 2005).
Konsumsi Perkapita Produk Peternakan
Wilayah
|
Daging (kg/tahun)
|
Susu (kg/tahun)
|
||||
1964-1966
|
1997-1999
|
2030
|
1964-1966
|
1997-1999
|
2030
|
|
Dunia |
24,2
|
36,3
|
45,3
|
73,9
|
78,1
|
89,5
|
Negara-negara berkembang |
10,2
|
25,5
|
36,7
|
28
|
44,6
|
65,8
|
Afrika Timur dan Afrika Utara |
11,9
|
21,2
|
35
|
68,6
|
72,3
|
89,9
|
Sub Sahara Afrika (tidak termasuk Afrika Selatan) |
9,9
|
9,4
|
13,4
|
28,5
|
29,1
|
33,8
|
Asia Timur |
8,7
|
37,7
|
58,5
|
3,6
|
10
|
17,8
|
Asia Selatan |
3,9
|
5,3
|
11,7
|
37
|
67,5
|
106,9
|
Negara Industri |
61,5
|
88,2
|
100,1
|
185,5
|
212,2
|
221
|
Negara-negara Transisi |
42,5
|
46,2
|
60,7
|
156,6
|
159,1
|
178,7
|
TANTANGAN PERSAPIAN INDONESIA
Persapian Indonesia sebenarnya tetap terkungkung pada permasalahan
klasik yang sebenarnya selalu menjadi ‘pekerjaan rumah’ seluruh stake
holder persapian Indonesia. Sayangnya, negara ini tidak serius dan tidak
berkeinginan besar untuk menjadikan persapian Indonesia menjadi lebih
baik.
1. Tataniaga
Permasalahan ini masih sangat menganggu dan terus menghantui
perkembangan usaha peternakan sapi. Proses distribusi persapian
Indonesia menunjukkan betapa lemahnya tataniaga daging di bumi nusantara
ini. Nilai permintaan dan penawaran pada beberapa produk daging
sepertinya lebih mengarah pada sistem kartel dan monopoli sehingga
banyak kepentingan yang terjadi dalam ranah perkembangan ternak sapi
potong Indonesia. Harga daging yang saat ini tertekan akibat banjirnya
daging impor dan aliran ternak impor yang tidak berpihak pada peternakan
rakyat memberi signal-signal yang jelas bagi perlemahan nilai-nilai
peternakan sapi Indonesia. Undang-undang no 18 tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan hewan secara jelas disebutkan dalam pasal 36
ayat 1 dan 2 menyatakan tentang kewajiban pemerintah dalam
menyelenggarakan dan memfasilitasi pemasaran produk peternakan. Pola
tataniaga dengan menyerahkan pada mekanisme pasar yang dilakukan oleh
pemerintah menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mendukung
peternak (terutama peternak rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan
melalui peternakan)
2. Egosektoral
Hampir kebanyakan stake holder di republik ini melakukan usaha dan
kebijakan perkembangan persapian nasional hanya sebatas pada kepentingan
golongan/kelompok semata. Keinginan menjadi yang terbaik dengan
mengabaikan sebuah kolaborasi yang manis menjadikan kesatuan misi dan
visi dalam merealisasikan kemandirian persapian nasional hanya sebuah
utopia semata. Direktur Jenderal Peternakan - Departemen Pertanian RI
bertanggungjawab atas seluruh hal yang berkenaan dengan peternakan dan
hasil ternak, tetapi saat sudah menyentuh ranah distribusi produk
daging, maka Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang mengambil
peran lebih banyak. Sementara koordinasi lintas departemen sangat lemah
dan ini dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab
3. Penegakan Aturan
Seluruh aktifitas perkembangan persapian nasional sampai saat ini masih
diwarnai dengan berbagai pelanggaran dan hal ini menyebabkan terjadinya
stagnasi atau hal yang lebih buruk lagi. Pemotongan ternak betina
terjadi karena penegakan aturan hukum yang setengah-setengah,
dilanggarnya konsep karantina hewan di Indonesia, protokol impor
merupakan cermin betapa penegakan aturan masih sangat lemah dan penuh
pensiasatan. Perangkat hukum sudah diletakkan, mulai dari Undang-undang
nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Peraturan
Menteri Pertanian nomor 54/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman
Pembibitan Sapi Potong Yang Baik (Good Breeding Practice),
4. Ketidakjelasan Program Pemerintah
Pemerintah sebagai regulator perkembangan persapian Indonesia, kadang
kala masih melakukan program-program yang tidak jelas arah dan
tujuannya. Konsep pengembangan peternakan sapi potong dengan
memberlakukan impor sapi Brahman Cross betina bunting sungguh sangat
tidak bijak, karena evaluasi terhadap nilai kebuntingan kembali sangat
rendah dan tidak pernah terlaporkan secara gamblang. Proses pengadaan
ternak inipun sangat tidak masuk akal, seekor ternak betina produktif
dengan harga pengadaan seperti ternak potong adalah sebuah hal yang
menggelikan. Juga program kebijakan pendanaan bagi masyarakat peternakan
Indonesia yang belum memberikan penyegaran. Aturan-aturan yang tidak
jelas, pembatasan-pembatasan yang sangat kabur serta ketidakberanian
pemerintah dalam menentukan keputusan merupakan pemicu ketidakberhasilan
program pemerintah
5. Penyediaan pakan ternak
Tentunya sebagai salah satu hal penting dalam segitiga produksi,
penyediaan pakan ternak merupakan hal yang patut menjadi perhatian.
Penelitian-penelitian tentang pakan ternak ruminansia dari berbagai
bahan hasil samping usaha dan agroindustri pertanian - perkebunan
menunjukkan betapa potensi pakan ternak merupakan hal yang patut menjadi
perhatian. Akhirnya, akhir-akhir ini banyak hasil samping usaha dan
agroindustri pertanian - perkebunan diekspor keluar negeri sebagai pakan
ternak, sementara di dalam negeri, ’sapi makan sapi’ menjadi fenomena
umum saat musim kemarau
6. Pendampingan dan bimbingan
Peternakan rakyat saat ini masih menjadi obyek persapian Indonesia.
Mereka masih berada dibawah kendali tataniaga yang dikuasai oleh pemodal
kuat dan perusahaan besar milik pebisnis sapi. Kebanyakan Koperasi Unit
Desa sebagai pengayom mereka belum menunjukkan fungsi dan peran seperti
yang diharapkan. Ketiadaan pendampingan dan pembimbingan kepada
peternakan rakyat menjadikan kualitas reproduktif ternak sapi menurun,
pemotongan ternak betina produktif, ketidakmampuan dalam meningkatkan
kuantitas dan kualitas produksi air susu dan rendahnya nilai tawar
peternakan rakyat adalah bukti konkret yang patut digarisbawahi
Potensi itu … Masih Ada
1. Pemetaan Ternak
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan harus segara melakukan
pemetaan ternak sapi, mengenai jumlah, jenis kelamin, kondisi (kapita
selekta), potensi produksi daging dan susu, status produksi/reproduksi,
jumlah dan kondisi Rumah Potong Hewan serta kapitaselekta kesehatan
ternak. Acuan data yang digunakan untuk Program Swasembada Daging Sapi
tahun 2014 dianggap masih tidak valid, merupakan cermin pengambilan
keputusan yang terburu-buru. Sensus sapi yang akan dilaksanakan tentunya
akan lebih baik bila mampu melibatkan banyak pihak, mulai dari kelompok
ternak, desa, Dinas Peternakan Kecamatan sampai Propinsi
2. Pemetaan Kebutuhan Daging Sapi
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan melakukan pendataan
kebutuhan daging sapi per wilayah, lengkap dengan standarisasi nasional
kualitas daging. Pemetaan ternak dan kebutuhan masyarakat ini akan
melahirkan besaran jumlah ternak yang harus tersedia, jumlah ternak yang
harus dipotong oleh setiap Rumah Pemotongan Hewan, strategi pembibitan
ternak sapi, jumlah impor ternak sapi, jumlah impor daging dan jerohan
sapi, negara calon eksportir ternak dan daging. Penetapan ini sangat
penting sebagai langkah proteksi pemerintah dalam menjaga keamanan pasar
bagi peternakan nasional Indonesia, peningkatan kualitas produk
peternakan mutlak dilaksanakan sebagai konsekuensi daya saing yang lebih
baik. Pemetaan per wilayah akan sangat membantu penyediaan bahan pangan
asal daging sapi serta akan sangat merangsang daerah untuk menyiapkan
diri sebagai wilayah penyangga daging sapi nasional. Hal ini juga dapat
diberlakukan untuk jenis ternak lainnya
3. Perbaikan Tataniaga
Pengaturan harga produk asal daging sesuai dengan besaran permintaan dan
penawaran perlu dikawal secara ketat sehingga harga penawaran yang
diberikan peternak/penjual dapat bersanding ideal dengan harga
permintaan dari konsumen, termasuk didalamnya adalah model rantai
distribusi produk. Impor ternak sapi Brahman Cross dan daging/jerohan
sapi secara membabi buta tanpa memperhatikan tingkat kebutuhan melalui
pemetaan yang tepat adalah sebuah kesalahan besar dan berdampak sistemik
bagi perkembangan usaha ternak sapi potong nasional. Ketegasan
pemerintah dalam mengatur tataniaga sangat mutlak diperlukan dan harus
dilaksanakan. Setelah dipenuhi kapita selekta ternak sapi dan dapat
dipastikan kondisi penyediaan produk asal daging sapi, pemerintah segera
melakukan penataan terhadap tataniaga, status stok yang terpenuhi dan
besaran harga yang layak kepada konsumen dan besaran harga bagi
petani/peternak sudah sewajarnya dilaksanakan. Bila mekanisme pasar
menjadi indikator penentuan harga, maka pemerintah harus mengawal
kondisi pasar agar tetap kondusif dan menjamin pasokan agar sesuai
dengan kebutuhan (tidak kekurangan dan tidak berlebihan). Rantai
pemasaran produk asal sapi yang selama ini memberi warna diatur
sedemikian rupa sehingga stabilitas ketersediaan barang dan fluktuasi
harga dapat dijaga kestabilannya. Blantik, jagal pasar, pedagang daging,
KUD adalah mata rantai yang dibangun untuk mendukung ekonomi
kerakyatan.
4. Bijak dalam Impor Ternak dan Daging/Jerohan Sapi
Banyaknya impor ternak dan daging/jerohan sapi tidak sebanding dengan
kebutuhan yang ada akan menyebabkan terjadinya koreksi harga akibat
persaingan yang tidak sehat dalam tataniaga ternak dan daging/jerohan
sapi. Bijak dalam pelaksanaan impor dan pengenaan pajak impor pada
produk-produk tersebut akan membantu perkembangan usaha ternak sapi
potong nasional. Sebaiknya BULOG sapi segera dibentuk sebagai salah satu
buffer penyediaan produk asal sapi dan penjaga stabilisasi harga.
Pemerintah sebaiknya memiliki Unit Pelaksana Teknis Kandang Penyangga
Produk Ternak Sapi yang saat ini beberapa fasilitasnya tersebar di
beberapa wilayah. UPT ini nantinya akan melakukan pemeliharaan ternak
sapi, mulai breeding - rearing sampai fattening. Saat harga produk asal
sapi dipasar tinggi, maka UPT ini akan melepas asset ternaknya sehingg
harga terkoreksi sesuai dengan daya beli masyarakat. Demikian juga bila
harga dipasar rendah karena over supply, maka pemerintah wajib melakukan
sweeping kelebihan ternak potong dan juga ternak indukan produktif
untuk dikembangkan dalam UPT. Sumber pembiayaan dapat diperoleh dari
APBN, pajak bea masuk ternak dan daging impor serta keuntungan
pengelolaan oleh UPT.
5. Penegakan Aturan
Undang-undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan adalah payung hukum dalam menjalankan aturan. Aturan
dan kebijakan peternakan merupakan rambu-rambu hukum dalam melakukan
usaha ternak yang terarah, terencana dan tertata. Melalui penegakan
aturan yang ketat, peternakan Indonesia akan menuju kearah yang lebih
profesional, sehingga model perdagangan dengan negara lain juga dapat
dilakukan secara berimbang dan saling menguntungkan.
6. Pemotongan Induk Betina Produktif
Jumlah induk betina produktif yang dipotong sampai saat ini masih sangat
besar, sementara larangan pemotogan induk betina produktif sudah
disosisalisasikan. Pemeriksaan di Rumah Potong Hewan dan penolakan
pemotongan serta penyelamatan terhadap induk betina produktif oleh
pemerintah merupakan langkah yang harus diejawantahkan dan segera
dilakukan secara terintegrasi diseluruh wilayah Republik Indonesia atau
pembelian betina produktif yang akan dipotong untuk dipelihara di UPT
serta pemberian sanksi bagi pelaku penjualan ternak sapi induk
produktif.
7. Konsistensi Program Pemerintah
Program swasembada daging melalui program-program yang sudah
dilaksanakan, seperti Sarjana membangun Desa (SMD), Lembaga Mandiri dan
Mengakar pada Masyarakat (LM3), Desa Mandiri Energi dan beberapa scheme
bantuan pembiayaan (KKPE = Kredit Ketahanan Pangan dan Energi, KUPS =
Kredit Usaha Pembibitan Sapi), bila menggunakan ternak impor, seharusnya
dilakukan dengan menggunakan ternak peranakan pure breed (seperti
Simmental, Limousine, Brangus, Brahman, Angus) yang benar-benar
diseleksi dan didampingi proses protokolnya dari negara asal ternak
sampai pelaksanaan dilapangan. Selama ini program pemerintah dalam
pembangunan peternakan nasional masih belum memiliki rencana jangka
pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Program yang dibuat
cenderung instan dan hanya karena terbawa arus masyarakat peternakan
nasional.
8. Rangsangan dan Stimulus
a. Revitalisasi dan sosialisasi Unit Pelaksana Teknis milik Departemen
Pertanian yang dapat memajukan usaha ternak sapi potong, seperti Balai
Besar Inseminasi Buatan, Balai Embrio Transfer, Balai Penelitian Ternak,
Balai Penelitian Veteriner, Balai Besar Penelitian Ternak Unggul dan
institusi lain yang berkenaan dengan penelitian dan pengembangan usaha
peternakan sapi potong
b. Peningkatan peran Dinas Peternakan di masing-masing wilayah Indonesia
agar dapat menjembatani setiap keputusan yang sudah dibuat oleh
Direktorat Jenderal Peternakan - Departemen Pertanian RI sebagai sebuah
program nasional. Selama ini terkadang Dinas di Daerah kurang memahami
rencana yang dibangun oleh pusat
c. Prioritas khusus berupa fasilitas transportasi temak di pelabuhan,
kereta api, kapal laut dan bebas antri di pelabuhan antar pulau serta
pengurangan biaya retribusi, pemeriksaan hewan di karantina dan
pembebasan pajak hasil ternak
d. Pengadaan Indukan Ternak Sapi Potong melalui sistem kredit lunak untuk pengembangan populasi ternak nasional
e. Proteksi wilayah yang sudah berswasembada dari distribusi ternak dan daging/jerohan impor
f. Fasilitas pemeriksaan teknis di negara asal ternak dan daging/jerohan impor oleh pihak ketiga yang independen
g. Pemberian fasilitas pembiayaan yang murah melalui pendampingan yang ketat dan terarah demi kemajuan peternakan sapi nasional
9. Pola Pertanian Terpadu
Pola integrasi antar komponen yang ada pada sebuah usaha peternakan
sehingga menghasilkan produktifitas, efisiensi dan efektifitas tinggi
dan memberi nilai ekonomis serta berorientasi ekologis merupakan satu
keterpaduan yang akan memberi nilai kesejahteraan. Salah satu manfaat
yang dapat diambil adalah ketersediaan pakan bagi ternak, pupuk organik,
ketersediaan energi terbarukan, ramah lingkungan (meminimalkan limbah),
bernilai edukasi - wisata dan inspiratif. Pemerintah harus merangsang
dan melaksanakan program integrasi peternakan dengan pertanian,
perkebunan secara sinergi dan berkesinambungan. Pakan merupakan hal
penting dalam pengembangan usaha ternak sapi potong sehingga, melalui
pola pertanian terpadu akan diperoleh sumber pakan berkualitas dari
hasil samping usaha pertanian - perkebunan.
10. Pendampingan dan Bimbingan
Pendampingan petani/peternak akan membuat organisasi petani/peternak
menjadi kuat dan transfer informasi, teknologi tepat guna serta
komunikasi dengan jalur distribusi akan semakin efektif dan nilai jual
produk berbanding lurus dengan kualitasnya. Bimbingan bagi para pelaku
dibidang pertanian/peternakan akan mendorong kemajuan dan memberi
kenyamanan dalam mengembangkan usaha. Bimbingan yang terus menerus akan
membuat pemberdayaan petani/peternak semakin besar dan kuat.
No comments:
Post a Comment