Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
“Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.” (Qs. An-Nisa’ : 4)
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan memberikan mahar kepada
wanita yang hendak dinikahi, maka hal tersebut menunjukkan bahwa mahar
merupakan syarat sah pernikahan. Pernikahan tanpa mahar berarti
pernikahan tersebut tidak sah, meskipun pihak wanita telah ridha untuk
tidak mendapatkan mahar. Jika mahar tidak disebutkan dalam akad nikah
maka pihak wanita berhak mendapatkan mahar yang sesuai dengan wanita
semisal dirinya (’Abdurrahman bin Nashr as-Sa’di dalam Manhajus Salikiin hal. 203).
Adapun mahar dapat berupa:
1. Harta (materi) dengan berbagai bentuknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An-Nisa’: 24)
2. Sesuatu yang dapat diambil upahnya ( jasa).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Berkatalah dia (Syu’aib), ‘Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan
kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu
bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka
itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati
kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang
baik’.” (Qs. Al-Qoshosh: 27)
3. Manfaat yang akan kembali kepada sang wanita, seperti:
- Memerdekakan dari perbudakan
- Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Shafiyah binti Huyayin (kemudian menikahinya) dan menjadikan kemerdekaannya sebagai mahar.” (Atsar riwayat Imam Bukhari: 4696)
- Keislaman seseorang
- Hal tersebut sebagaimana kisah Abu Thalhah yang menikahi Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhuma dengan mahar keislaman Abu Thalhah. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhubekata, “Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Maharnya keislaman Abu Thalhah. Ummu Sulaim telah masuk Islam sebelum Abu Thalhah, maka Abu Thalhah melamarnya. Ummu Sulaim mengatakan,’Saya telah masuk Islam, jia kamu masuk Islam aku akan menikah denganmu.’ Abu Thalhah masuk Islam dan menikah dengan Ummu Sulaim dan keislamannya sebagai maharnya.” (HR. An-Nasa’I : 3288)
- Atau hafalan al-qur’an yang akan diajarkannya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menikahkan salah seorang sahabat dengan beberapa surat al-qur’an hafalannya (HR. Bukhari dan Muslim)
Mahar merupakan hak penuh mempelai wanita. Tidak boleh hak tersebut
diambil oleh orang tua, keluarga maupun suaminya, kecuali bila wanita
tersebut telah merelakannya. Wahai saudariku, mahar memang merupakan hak
wanita. Kita bebas menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita
inginkan karena tidak ada batasan mahar dalam syari’at Islam. Namun
Islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. al-Hakim : 2692, beliau mengatakan “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim.”)
Maka hikmah di balik anjuran untuk meringankan mahar adalah
mempermudah proses pernikahan. Berapa banyak laki-laki yang mundur
teratur akibat adanya permintaan mahar yang tinggi? Bahkan ada sebagian
daerah yang mensyaratkan pemberian mahar yang tergolong tinggi.
Menghadapi hal semacam ini, hendaknya pihak wanita bersikap bijak. Tidak
masalah jika pihak laki-laki memiliki kemampuan untuk membayar mahar
tersebut, namun jika ternyata yang datang adalah laki-laki yang memiliki
kemampuan materi yang biasa saja, maka tidaklah layak menolaknya hanya
karena ketidakmampuannya membayar mahar. Terutama jika yang datang
adalah laki-laki yang sudah tidak diragukan lagi keshalihannya.
Wahai saudariku, untuk apa kita memegang aturan lain jika syari’at
dalam agama kita telah memerintahkan sesuatu yang lebih mudah dan mulia?
Sesungguhnya sebagian wanita telah berbangga dengan tingginya mahar
yang mereka dapatkan, maka janganlah kita mengikuti mereka. Berapa
banyak wanita yang terlambat menikah hanya karena maharnya yang terlalu
tinggi sehingga laki-laki yang hendak menikahinya harus menunggu selama
bertahun-tahun agar dapat memenuhi maharnya. Alangkah kasihannya mereka
yang harus menggadaikan hati padahal perkara ini amat mudah
penyelesaiannya. Maka, ringankanlah maharmu, wahai saudariku!
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah.” (HR. Abu Dawud (n. 2117), Ibnu Hibban (no. 1262 dalam al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (I/221, no. 724) dshahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihihul Jaami’ (no. 3300))
Bahkan seandainya seseorang tidak memiliki harta sedikit pun untuk
dijadikan mahar, maka diperbolehkan membayar mahar dengan mengajarkan
al-Qur’an yang telah dihafalnya kepada wanita yang hendak dinikahi.
Mahar ada beberapa macam yang semuanya diperbolehkan dalam Islam,
yaitu 1) mahar yang disebutkan (ditentukan) ketika akad nikah dan 2)
mahar yang tidak disebutkan ketika akad nikah. Jika mahar tersebut
disebutkan dalam akad nikah, maka wajib bagi suami untuk membayar mahar
yang tersebut. Apabila mahar tidak disebutkan dalam akad nikah namun
tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, maka wajib bagi suami
untuk memberikan mahar semisal mahar kerabat wanita istrinya, seperti
ibu atau saudara-saudara perempuannya (mahar mitsl).
Diperbolehkan bagi laki-laki antara membayar tunai dan atau
menghutang mahar dengan persetujuan si wanita, baik keseluruhan maupun
sebagian dari mahar tersebut. Jika mahar tersebut adalah mahar yang
dihutang baik yang telah disebutkan jenis dan jumlahnya sebelumnya
maupun yang tidak, maka harus ada kejelasan waktu penangguhan atau
pencicilannya. Tidak diperbolehkan seorang suami ingkar terhadap mahar
istrinya, karena hal tersebut merupakan khianat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Syarat yang paling berhak kamu penuhi adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan farji (seorang wanita).” (HR. Bukhari : 2520)
Jika Suami Istri Berpisah
Jika Allah mentakdirkan suami meninggal, baik setelah dukhul (berkumpul)
ataupun belum, maka sang istri tetap berhak atas mahar secara sempurna,
baik dalam mahar yang telah ditentukan sebelumnya maupun dalam mahar mitsl (yang belum ditentukan). Sebagaimana ini dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
Demikian juga halnya jika terjadi perpisahan antara suami istri dan
telah terjadi dukhul, baik pisah dengan thalaq maupun dengan fasakh.
Namun jika thalaq terjadi sebelum dukhul, jika
sebelumnya mahar telah ditentukan maka istri berhak setengah dari milik
keseluruhannya, dan jika sebelumnya tidak pernah ditentukan maka hak
istri atas mahar gugur secara keseluruhan, dan hanya berhak mut’ah
(semacam pesangon) dari suami dengan besaran yang disesuaikan dengan
tingkat ekonomi suami (lihat Qs. Al-Baqarah: 236-237).
Demikian juga hak mahar akan gugur secara keseluruhan jika thalaq dan
fasakh terjadi atas pengajuan istri, atau fasakh terjadi atas pengajuan
suami lantaran cacat istri yang belum pernah ia ketahui sebelumnya
misalkan, lalu pengajuan itu dikabulkan oleh hakim. Wahai Saudariku,
murahkanlah maharmu, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi
pernikahanmu. Akhirnya Saudariku, teriring do’a untukmu:
baarakallahulaki wa baraka ‘alaiki wa jama’a bainakumaa fii khair…
No comments:
Post a Comment