Sejarah perkembangan kehalalan di
Indonesia bermula dari beberapa kasus. Salah satunya adalah kasus lemak
babi pada tahun 1988 yang kemudian berkembang menjadi isu nasional dan
berdampak pada perekonomian. Sehingga akhirnya pada tahun 1989
didirikanlah LP POM MUI oleh Majelis Ulama Indonesia.
Selain sebagai bentuk
tanggung jawab MUI untuk melindungi masyarakat, lembaga pengkajian
halal-haram tersebut juga didirikan sebagai bagian dari upaya untuk
memberikan ketenteraman batin umat. Caranya adalah dengan menerbitkan
sertifikasi Halal untuk beberapa produk seperti pangan, obat, dan
kosmetika sehingga aman untuk dikonsumsi kaum Muslim.
Bagi
umat Islam, mengkonsumsi yang halal dan thayib (baik, aman, higenis)
merupakan perwujudan dari ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah. Oleh
karena itu tuntutan terhadap produk halal pun semakin gencar disuarakan
konsumen muslim, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Hal
ini terkait dengan perintah Allah kepada manusia, sebagaimana yang
termaktub dalam Al Qur'an, Surat Al Maidah: 88 yang artinya:
"dan
makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah
dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman
kepada-Nya"
Memakan
yang halal dan thayib merupakan perintah dari Allah yang harus
dilaksanakan oleh setiap manusia yang beriman. Bahkan perintah ini
disejajarkan dengan bertaqwa kepada Allah, sebagai sebuah perintah yang
sangat tegas dan jelas. Perintah ini juga ditegaskan dalam ayat yang
lain, seperti yang terdapat pada Surat Al Baqarah: 168 yang artinya:
"Wahai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena
sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu"
Memakan
yang halal dan thayib akan berbenturan dengan keinginan syetan yang
menghendaki agar manusia terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu
menghindari yang haram merupakan sebuah upaya yang harus mengalahkan
godaan syetan tersebut.
Mengkonsumsi
makanan halal dengan dilandasi iman dan taqwa karena semata-mata
mengikuti perintah Allah merupakan ibadah yang mendatangkan pahala dan
memberikan kebaikan dunia dan akhirat. Sebaliknya memakan yang haram,
apalagi diikuti dengan sikap membangkang terhadap ketentuan Allah
adalah perbuatan maksiat yang mendatangkan dosa dan keburukan.
Sebenarnya
yang diharamkan atau dilarang memakan (tidak halal) jumlahnya sedikit.
Selebihnya, pada dasarnya apa yang ada di muka bumi ini adalah halal,
kecuali yang dilarang secara tegas dalam Al Qur'an dan Hadits. Semua
yang berasal dari laut adalah halal untuk dimakan, sebagaimana ayat
berikut ini:
QS Al Maidah : 94
"Dihalalkan bagimu (ikan) yang ditangkap di laut dan makanan yang berasal dari laut"
"Dihalalkan bagimu (ikan) yang ditangkap di laut dan makanan yang berasal dari laut"
Beberapa
ayat berikut ini menyebutkan bahwa dalam Al-Qur'an hanya sedikit yang
tidak halal. Namun dengan perkembangan teknologi, yang sedikit itu bisa
menjadi banyak karena masuk ke dalam makanan olahan secara tidak
terduga sebelumnya. Beberapa larangan yang terkait dengan makanan haram
tersebut adalah:
QS Al Maidah : 3
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tecekik, yang dipukul, yang jatuh ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali kamu sempat menyembelihnya."
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tecekik, yang dipukul, yang jatuh ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali kamu sempat menyembelihnya."
QS Al Baqarah : 173
"Sesungguhnya Allah yang mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan yang disembelih dengan nama selain Allah."
"Sesungguhnya Allah yang mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan yang disembelih dengan nama selain Allah."
QS Al Maidah : 4
"Dan makanlah binatang yang ditangkap dalam buruan itu untukmu dan sebutlan nama Allah ketika melepaskan hewan(anjing) pemburunya."
"Dan makanlah binatang yang ditangkap dalam buruan itu untukmu dan sebutlan nama Allah ketika melepaskan hewan(anjing) pemburunya."
QS Al An'am : 121
"Dan janganlah kamu makan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah dan sesungguhnya yang demikian itu fasik."
"Dan janganlah kamu makan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah dan sesungguhnya yang demikian itu fasik."
QS An Nahl : 67
"Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rizki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memikirkan."
"Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rizki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memikirkan."
QS Al Baqarah : 219
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi; Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya."
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi; Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya."
QS An Nisa : 43
"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan."
"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan."
Dari
serangkaian ayat di atas dapat disimpulkan bahwa yang tergolong haram
bukan hanya babi. Ada 5 macam yang dikategorikan sebagai barang haram
yaitu:
1. BANGKAI Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam sbb :
- A. Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak
- B. Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
- C. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati.
- D. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir).
- Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits:
- “Dari Ibnu Umar berkata: ” Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11)
- Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda:
- “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”: (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11) Syaikh Muhammad Nasiruddin Al–Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no.480): “Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)? Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (HR. Daraqutni: 538).
- Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. (Lihat pula Al-Muhalla (6/60-65) oleh Ibnu Hazm dan Syarh Shahih Muslim (13/76) oleh An-Nawawi).
Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya:
“Atau
darah yang mengalir” (QS. Al-An’Am: 145) Demikianlah dikatakan oleh
Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang
jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka
dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau
sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian
darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena
itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. (Lihat Tafsir Ibnu
Katsir 3/23-24).
Sekalipun darah
adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan
hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang
menempel pada daging atau leher setelah disembelih.Semuanya itu
hukumnya halal.
Syaikul Islam
Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang benar, bahwa darah yang
diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah
yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama’
yang mengharamkannya”. (Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh
Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan).
3. DAGING BABI
Babi
baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup
seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya,
telah ditandaskan dalam al-Qur’an, hadits dan ijma’ ulama.
4. SEMBELIHAN UNTUK SELAIN ALLAH
Yakni
setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram,
karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan
nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan
hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala
dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram
dengan kesepakatan ulama.
5. HEWAN YANG DITERKAM BINATANG BUAS
Yakni
hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan
sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram
sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu
hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu
biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing,
unta,sapi dsb, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.
Adapun
hewan yang diterkam binatang buasa apabila dijumpai masih hidup
(bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih
bernafas kemudian disembelih secara syar’i, maka hewan tersebut adalah
halal karena telah disembelih secara halal.
6. BINATANG BUAS BERTARING
Hal
ini berdasarkan hadits : “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda:
“Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” (HR. Muslim
no. 1933)
Perlu diketahui bahwa
hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam
At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in
(2/118-119) Maksudnya “dziinaab” yakni binatang yang memiliki taring
atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa,anjing,
macan tutul, harimau,beruang,kera dan sejenisnya. Semua itu haram
dimakan”. (Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi).
Hadits
ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang
bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja
adalah pendapat yang salah. (lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil
Barr, I’lamul Muwaqqi’in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no.
476 oleh Al-Albani.
Imam Ibnu
Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): “Saya tidak
mengetahui persilanganpendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa
kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada
manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama’pun yang
membolehkan untuk memakannya. Demikianpula anjing,gajah dan seluruh
binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya).
Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang….”.
Para
ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang
buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah
halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i berdasarkan hadits :
“Dari
Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang
musang, apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya: “Ya”. Lalu aku
bertanya: apakah boleh dimakan ? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya
lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ? Jawabnya: Ya.
(Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa’i (5/191) dan
dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim,
Al- Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir
(1/1507).
Lantas apakah hadits
Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? ! Imam Ibnu
Qoyyim menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/120) bahwa tidak ada
kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk
kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf
(kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah
Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad
Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3-28)
7. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM
Hal
ini berdasarkan hadits : Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang
dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam” (HR Muslim
no. 1934)
Imam Al-Baghawi berkata
dalam Syarh Sunnah (11/234): “Demikian juga setiap burung yang berkuku
tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya”. Imam Nawawi
berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: “Dalam hadits ini terdapat
dalil bagi madzab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama
tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang
berkuku tajam.”
8. KHIMAR AHLIYYAH (KELEDAI JINAK)
Hal ini berdasarkan hadits:
“Dari
Jabir berkata: “Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan)
daging khimar dan memperbolehkan daging kuda”. (HR Bukhori no. 4219 dan
Muslim no. 1941) dalam riwayat lain disebutkan begini : “Pada perang
Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah
melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda. (Shahih.
HR Abu Daud (3789), Nasa’i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272),
Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu
Sunnah no. 2811).
Dalam hadits di atas terdapat dua masalah :
Pertama
: Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari
kalangan sahabat, tabi’in dan ulama setelah mereka berdasarkan
hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar,
maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama. (Lihat Sailul Jarrar
(4/99) oleh Imam Syaukani).
Kedua
: Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi’i,
Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan
hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan
dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari Atha’ bahwa
beliau berkata kepada Ibnu Juraij: ” Salafmu biasa memakannya (daging
kuda)”. Ibnu Juraij berkata: “Apakah sahabat Rasulullah ? Jawabnya :
Ya. (Lihat Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan’ani).
9. AL-JALLALAH
Hal ini berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki. (HR. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih).
“Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki. (HR. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih).
“Dalam
riwayat lain disebutkan: Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan
susunya.” (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189).
“Dari
Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah
melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan
dagingnya”(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari
9/648).
Maksud Al-Jalalah yaitu
setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua-yang makanan
pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manuasia/hewan dan
sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf
(5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam
yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih sebagaimana
dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Al-Baghawi
dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: “Kemudian menghukumi suatu
hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila
hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini
tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram dimakan seperti ayam
dan sejenisnya…”
Hukum jalalah
haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-’Ied dari para fuqaha’
serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini,
Al-Baghawi dan Al-Ghozali. (Lihat Fathul Bari (9/648) oleh Ibnu Hajar).
Sebab
diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan
susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat
keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan
hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): “Ukuran waktu boelhnya
memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut
hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang
benar.”. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar
(7/464) dan Al-Albani dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3/32).
10. AD-DHAB (HEWAN SEJENIS BIAWAK) BAGI YANG MERASA JIJIK DARINYA
Berdasarkan
hadits: “Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang dari
makan dhab (hewan sejenis biawak). (Hasan. HR Abu Daud (3796),
Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan
dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/665) serta
disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390).
Benar
terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan
selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhob baik secara tegas berupa
sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits
Abdullah bin Umar secara marfu’ (sampai pada nabi) “Dhab, saya tidak
memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya.” (HR Bukhari no.5536
dan Muslim no. 1943)
11. HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA SUPAYA DIBUNUH
“Dari
Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya
dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing
hitam. ” (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz
“kalajengking: gantinya “ular” )
Imam
ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): “Setiap binatang yang
diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan
baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan
tidak halal membunuh binatang yang dimakan” (Lihat pula Al-Mughni
(13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh
Nawawi).
“Dari Ummu Syarik
berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak” (HR.
Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam
At-Tamhid (6/129)” “Tokek/cecak telah disepakati keharaman memakannya”.
12. HEWAN YANG DILARANG UNTUK DIBUNUH
“Dari
Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut,
tawon, burung hud-hud dan burung surad. ” (HR Ahmad (1/332,347), Abu
Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan
Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). Imam Syafi’i dan para
sahabatnya mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti
tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan
dilarang membunuhnya.” (Lihat Al-Majmu’ (9/23) oleh Nawawi).
Haramnya
hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun
ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati
keharamannya. (Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468,
Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi). “Dari Abdur Rahman bin Utsman
Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah
tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah melarang
membunuhnya. (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa’i (4355),
Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar
dan Al-Albani).
Haramnya katak
secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya
serta pendapat yang shahih dari madzab Syafe’i. Al-Abdari menukil dari
Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai
laut hukumnya halal kecuali katak (lihat pula Al-Majmu’ (9/35) ,
Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi,
Aunul Ma’bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh
Al-Bassam)
13. BINATANG YANG HIDUP DI 2 (DUA) ALAM
Sejauh
ini BELUM ADA DALIL dari Al Qur’an dan hadits yang shahih yang
menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan
darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya
“asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di dua alam :
KEPITING
– hukumnya HALAL sebagaimana pendapat Atha’ dan Imam Ahmad.(Lihat
Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm).
KURA-KURA
dan PENYU – juga HALAL sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus,
Muhammad bin Ali, Atha’, Hasan Al-Bashri dan fuqaha’ Madinah. (Lihat
Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84).
ANJING LAUT – juga HALAL sebagaimana pendapat imam Malik, Syafe’i, Laits, Syai’bi dan Al-Auza’i (lihat Al-Mughni 13/346).
KATAK/KODOK
– hukumnya HARAM secara mutlak menurut pendapt yang rajih karena
termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas.
Sedangkan
konsep dasar jaminan pangan halal sendiri mencakup pemakaian
bahan-bahan yang halal, proses yang halal, penanganan yang halal,
sehingga menghasilkan produk yang halal pula. Namun dengan kemajuan
teknologi, banyak dari bahan-bahan haram tersebut yang dimanfaatkan
sebagai bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada berbagai
produk olahan. Di titik kritis inilah seringkali yang halal dan yang
haram menjadi tidak jelas, bercampur aduk dan banyak yang syubhat
(samar-samar, tidak jelas hukumnya).
Menghadapi
kasus seperti itu maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya makanan
olahan yang telah tersentuh teknologi dan telah diolah sedemikian rupa
statusnya menjadi samar (syubhat), sehingga dapat dibuktikan statusnya
sebagai halal atau haram. Penentuan ini dilakukan oleh Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia berdasarkan kajian dan audit (pemeriksaan) yang
dilakukan oleh LPPOM MUI.
Dalam undang-undang negara sendiri terdapat 3 regulasi tentang halal:
- UU RI No.7 Tahun 1996 (Tentang Pangan) dimana dalam Pasal 30
- Wajib mencantumkan label.
- Isi Label mencakup: nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat atau isi bersih, nama dan alamat produsen, keterangan tentang halal, tanggal dan bulan kadaluarsa.
- Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1999: Definisi pangan halal (pasal 1 ayat 5) adalah Pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.
- Joint FAO/WHO Food Standards Programme Codex Alimentarius Commission CAC/GL 24-1997 1: yaitu salah satu organisasi dunia yang mengatur tentang Term of 'Halal'.
Seperti yang termaktub dalam Al Qur'an, Surat HR Bukhari:
"Siapa yang menahan diri memakan makanan haram Allah akan selalu menolongnya"
Oleh
karena itu mulai dari sekarang alangkah baiknya jika kita mulai
menerapkan prinsip 'Halal is my life' dalam kehidupan sehari-hari!
No comments:
Post a Comment