MOHON MAAF BLOG SEDANG DALAM PENYETELAN TEMPLATE AGAR KAMI BISA LEBIH PROFESIONAL LAGI DALAM MEMBERIKAN INFO YANG ANDA BUTUHKAN, MOHON BERSABAR INI TIDAK BERLANGSUNG LAMA,TERIMA KASIH ATAS PENGERTIANNYA...
English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Hukum Kepler

Hukum–hukum Kepler merupakan salah satu batu bata dasar ilmu astronomi dan amat berguna dalam segenap bagian dalam jagat raya, mulai dari sistem Bumi dan satelitnya (baik satelit alami maupun buatan), planet–planet dan satelitnya, Matahari dan planet–planetnya hingga sistem tata surya non–Matahari maupun sistem bintang kembar yang saling mengedari serta sistem bintang–bintang mengedari pusat galaksi dalam sebuah galaksi yang berputar. Aplikasi yang amat luas ini barangkali tidak pernah disadari oleh seorang Johannes Kepler saat mempublikasikannya untuk yang pertama kali di tahun 1609. Pada saat itu Kepler adalah astronom besar yang juga merupakan asisten sekaligus rekan kerja astronom besar Tycho Brahe, ia hanya berfikir untuk menerapkan hukum–hukum tersebut dalam sistem tata surya Matahari saja.
Hukum–hukum Kepler terdiri dari tiga bagian, hukum-hukum ini sering disebut juga sebagai Hukum Kepler 1, Hukum Kepler 2 dan Hukum Kepler 3. Hukum Kepler 1 menyatakan setiap planet beredar mengelilingi Matahari dalam orbit yang berbentuk ellips (lonjong), dengan Matahari terletak pada salah satu dari dua titik fokus ellips tersebut. Sementara Hukum Kepler 2 berbunyi vektor radius (yakni garis imajiner yang menghubungkan pusat sebuah planet dengan pusat Matahari) menyapu area dengan luas yang sama dalam ellips tersebut untuk interval waktu yang sama. Dan Hukum Kepler 3 menyatakan kuadrat dari periode orbit sebuah planet sebanding dengan dengan pangkat tiga setengah sumbu utama orbitnya. Hukum Kepler 1 dan Hukum Kepler 2 dipublikasikan pada tahun 1609, sedang Hukum Kepler 3 baru dipublikasikan sepuluh tahun kemudian setelah Kepler selesai menganalisis data posisi planet–planet hasil observasi Tyco Brahe selama bertahun–tahun yang tercetak dalam “Rudolphine Tables”

Hukum–hukum Kepler amat menggemparkan dunia ilmu pengetahuan pada masanya, mengingat hukum–hukum ini menyajikan dukungan amat lugas kepada model heliosentris yang saat itu baru seumur jagung, menantang modelgeosentris warisan Ptolomeus yang dianggap telah mapan selama 14 abad. Tidak hanya itu saja, hukum–hukum Kepler sekaligus menantang otoritas religius di Eropa yang pada saat itu menganggap gagasan geosentris lebih cocok dengan kitab suci karena mendeskripsikan orbit sebagai lingkaran sempurna sekaligus menyediakan ruang kosong di luar lingkaran bintang–bintang tetap. Ruang kosong itu dianggap menjadi tempat bagi surga dan neraka.
Meski lingkaran merupakan bangun matematis yang sempurna karena setiap titik didalamnya berjarak sama dari sebuah pusat, namun implementasinya terhadap posisi planet–planet dari waktu ke waktu menjumpai permasalahan besar. Sebab pengamatan menunjukkan posisi planet–planet tersebut ternyata tidak pas dengan prediksi sesuai orbit lingkaran sempurna. Model geosentris mencoba menjelaskannya dengan menganggap setiap planet beredar dalam lingkaran sempurna yang lebih kecil, yang dinamakan episiklus. Pusat episiklus tepat sama dengan garis lingkaran orbitnya. Sehingga setiap planet dianggap berputar–putar pada episiklusnya dengan pusat episiklus senantiasa bergeser pada kecepatan tetap di sepanjang garis orbit lingkaran.
Meski terlihat sesuai dengan hasil pengamatan, namun secara matematis penggunaan episiklus menyebabkan kompleksitas tersendiri. Kepler menyadari kompleksitas ini tatkala menganalisis data–data pengamatan planet Mars. Ia mendapati Mars selalu berada dalam koordinat yang sama pada sebuah rasi bintang tertentu setiap 687 hari sekali. Ini berarti periode orbit Mars adalah 687 hari. Kekhasan semacam ini tidak bisa dijelaskan dengan baik oleh model geosentris dengan konsep episiklus, sebab dengan konsep episiklus seharusnya periode orbit sebuah planet amat bervariasi dari waktu ke waktu. Sebaliknya, jika konsep episiklus disingkirkan dan digantikan dengan dengan ellips (yang secara matematis lebih sederhana), kekhasan yang dialami Mars dapat dijelaskan dengan mudah. Belakangan saat hal yang sama diterapkan pada Jupiter, kekhasan serupa juga dijumpai.
Walaupun bisa menjelaskan bahwa orbit sebuah planet dalam mengelilingi Matahari adalah berupa ellips, namun Kepler tidak tahu mengapa berbentuk ellips dan bukannya lingkaran sempurna, meskipun dalam geometri bentuk ellips merupakan variasi dari lingkaran sempurna. Barulah pada masa Sir Isaac Newton, tepatnya pada 1686 lewat bukunya yang populer : Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, mengapa bentuk orbit planet adalah ellips menemukan penjelasannya. Newton menyebutkan gravitasi–lah yang bertanggung jawab untuk itu. Bentuk orbit lingkaran sempurna hanya akan terjadi jika tata surya hanya berisi Matahari (sebagai pusat) dan satu planet saja yang beredar mengelilingi Matahari. Pada situasi tersebut, gerak planet itu hanya dipengaruhi oleh gravitasi Matahari. Namun tata surya kita tak hanya terdiri dari sebuah planet, melainkan ada delapan. Belum terhitung pula planet kerdil beserta anggota–anggota berskala kecil seperti asteroid dan komet. Sehingga tatkala beredar mengelilingi Matahari, sebuah planet tak hanya dipengaruhi gravitasi Matahari semata, namun juga gravitasi planet–planet lainnya yang menjadi tetangganya. Inilah yang membuat orbit setiap planet, juga setiap anggota tata surya lainnya, menjadi ellips.
Lewat Hukum Kepler 3 pula, yang dikombinasikannya dengan hukum gerak sentripetal/sentrifugal, Newton berhasil merumuskan hukum gravitasi universal–nya yang terkenal, yang melahirkan nilai konstanta gravitasi universal (G). Dan kelak di masa Henry Cavendish, tepatnya pada 1798, nilai G berhasil ditetapkan dengan akurat. Sehingga hanya dengan mengetahui periode rotasi dan setengah sumbu utama sebuah planet, massa Matahari bisa ditentukan dengan cukup akurat. Demikian halnya massa planet.
Secara geometris sebuah lingkaran dan ellips merupakan bangun kurva tertutup yang serupa, hanya dibedakan oleh nilai eksentrisitas (kelonjongan). Dalam ellips, eksentrisitas bernilai antara 0 hingga 1 sehingga terdapat dua pusat (fokus) dan dua sumbu, yakni sumbu utama dan sumbu minor. Eksentrisitas dalam ellips merupakan rasio antara selisih jarak kedua pusat dengan setengah sumbu utamanya. Semakin besar eksentrisitas sebuah ellips, semakin besar jarak antara kedua pusatnya sehingga semakin panjang pula sumbu utamanya dibandingkan sumbu minor, yang membuat ellips semakin lonjong. Sebaliknya semakin kecil eksentrisitasnya, semakin kecil pula jarak antara kedua pusatnya sehingga semakin kecil pula sumbu utamanya dibandingkan sumbu minor, yang membuat ellips semakin melingkar.
Dalam perspektif geometri, lingkaran merupakan kasus khusus untuk ellips dengan eksentrisitas nol sehingga tiada jarak antara kedua pusatnya (atau kedua pusatnya menyatu dalam satu lokasi yang sama) sehingga panjang sumbu minor sama persis dengan sumbu mayor (sehingga disebut sebagai jari–jari). Sementara jika nilai eksentrisitas setara atau lebih besar dibanding 1, bangun kurvanya menjadi terbuka ke satu sisi. Pada eksentrisitas sama dengan 1, bangun kurvanya adalah parabola. Sementara pada eksentrrisitas lebih besar dibanding 1, bangun kurvanya adalah hiperbola.
Dalam orbit planet, Matahari menempati salah satu pusat ellips. Sementara pusat lainnya tidak terisi apapun dan tidak bermakna apapun bagi sifat orbit planet yang bersangkutan. Dalam tata surya kita nilai eksentrisitas planet–planet bervariasi dari yang terkecil adalah Venus (0,007) dan yang terbesar adalah Merkurius (0,2). Bumi kita sendiri mempunyai eksentrisitas 0,017. Pada dasarnya planet–planet memiliki nilai eksentrisitas orbit yang kecil, sehingga menjamin stabilitas posisinya dalam orbitnya masing–masing berdasarkan perspektif hukum gravitasi universal. Sebaliknya asteroid atau komet umumnya memiliki eksentrisitas besar (antara 0,3 hingga 0,7) sehingga relatif takstabil. Komet–komet tertentu bahkan memiliki eksentrisitas 1 atau lebih besar, yang menjadikannya hanya mampu sekali mendekati Matahari saja untuk kemudian terlontar keluar dari lingkungan tata surya kita, menuju ke ruang antarbintang.
Secara matematis ellips dapat dituliskan sebagai berikut (dalam koordinat kutub) :
Dengan (r, θ) adalah koordinat kutub ellips, p adalah semi–lakusrektum dan ε adalah eksentrisitas. Bagi tata surya kita, r adalah jarak dari matahari ke benda langit anggota tata surya dan θ adalah sudut yang terbentuk antara benda langit tersebut dengan pada Matahari pada titik tertentu dengan sumbu dimana benda langit tersebut terletak paling dekat ke Matahari. Jarak terdekat tersebut dikenal sebagai perihelion, yang didefinisikan terjadi saat θ = 0° sehingga persamaan matematis di atas akan berbentuk :
dengan q merupakan perihelion. Sedangkan jarak terjauh antara benda langit anggota tata surya terhadap Matahari dikenal sebagai aphelion dan didefinisikan terjadi saat θ = 180° sehingga persamaan matematisnya menjadi berbentuk :
dengan Q merupakan aphelion. Secara geometris, hasil penjumlahan antara q dan Q setara dengan 2a, dimana a adalah setengah sumbu utama ellips. Sehingga diperoleh :
Jika nilai p ini dimasukkan ke dalam persamaan dasar ellips, maka kita memperoleh sebuah persamaan matematis untuk ellips sebagai berikut :
Sementara nilai eksentrisitas ellips dapat ditulis ulang sebagai :

No comments:

Post a Comment