1. Hukum Ber-KB
KB secara prinsipil dapat
diterima oleh Islam, bahkan KB dengan maksud menciptakan keluarga
sejahtera yang berkualitas dan melahirkan keturunan yang tangguh sangat
sejalan dengan tujuan syari`at Islam yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi
umatnya. Selain itu, Kb juga memiliki sejumlah manfaat yang dapat
mencegah timbulnya kemudlaratan. Bila dilihat dari fungsi dan manfaat KB
yang dapat melahirkan kemaslahatan dan mencegah kemudlaratan maka tidak
diragukan lagi kebolehan KB dalam Islam.Namun persoalannya kemudian
adalah : sejauh mana ia diperbolehkan? dan apa saja batasannya?. Hal
tersebut akan terjawab pada penjelasan dibawah ini.
2. Makna Keluarga Berencana
Para ulama yang membolehkan KB
sepakat bahwa Keluarga Berencan (KB) yang dibolehkan syari`at adalah
suatu usaha pengaturan/penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan
kehamilan sementara atas kesepakatan suami-isteri karena situasi dan
kondisi tertentu untuk kepentingan (maslahat) keluarga. Dengan demikian
KB disini mempunyai arti sama dengan tanzim al nasl (pengaturan
keturunan). Sejauh pengertiannya adalah tanzim al nasl (pengaturan
keturunan), bukan tahdid al nasl (pembatasan keturunan) dalam arti
pemandulan (taqim) dan aborsi (isqot al-haml), maka KB tidak dilarang.
Pemandulan dan aborsi yang dilarang oleh Islam disini adalah tindakan
pemandulan atau aborsi yang tidak didasari medis yang syari`i. Adapun
aborsi yang dilakukan atas dasar indikasi medis, seperti aborsi untuk
menyelamatkan jiwa ibu atau karena analisa medis melihat kelainan dalam
kehamilan, dibolehkan bahkan diharuskan. Begitu pula dengan pemandulan,
jika dilakukan dalam keadaan darurat karena alasan medis, seperti
pemandulan pada wanita yang terancam jiwanya jika ia hamil atau
melahirkan maka hukumnya mubah. Kebolehan KB dalam batas pengertian
diatas sudah banyak difatwakan , baik oleh individu ulama maupun
lembaga-lembaga ke Islaman tingkat nasional dan internasional, sehingga
dapat disimpulkan bahwa kebolehan KB dengan pengertian /batasan ini
sudah hampir menjadi Ijma`Ulama. MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga
telah mengeluarkan fatwa serupa dalam Musyawarah Nasional Ulama tentang
Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan tahun 1983. Betapapun secara
teoritis sudah banyak fatwa ulama yang membolehkan KB dalam arti tanzim
al-nasl, tetapi kita harus tetap memperhatikan jenis dan cara kerja
alat/metode kontrasepsi yang akan digunakan untuk ber-KB.
3. Metode/ Alat Kontrasepsi dan Hukum Penggunaannya
Ada lima 5 persoalan yang terkait dengan penggunaan alat kontrasepsi, yaitu :
1. Cara kerjanya, apakah mencegah kehamilan (man’u al-haml) atau menggugurkan kehamilan (isqat al-haml)?
2. Sifatnya, apakah ia hanya pencegahan kehamilan sementara atau bersifat pemandulan permanen (ta’qim)?
3. Pemasangannya, Bagaimana
dan siapa yang memasang alat kontrasepsi tersebut? (Hal ini berkaitan
dengan masalah hukum melihat aurat orang lain).
4. Implikasi alat kontrasepsi terhadap kesehatan penggunanya.
5. Bahan yang digunakan untuk membuat alat kontrasepsi tersebut.
Alat kontrasepsi yang dibenarkan
menurut Islam adalah yang cara kerjanya mencegah kehamilan (man’u
al-haml), bersifat sementara (tidak permanen) dan dapat dipasang sendiri
olrh yang bersangkutan atau oleh orang lain yang tidak haram memandang
auratnya atau oleh orang lain yang pada dasarnya tidak boleh memandang
auratnya tetapi dalam keadaan darurat ia dibolehkan. Selain itu bahan
pembuatan yang digunakan harus berasal dari bahan yang halal, serta
tidak menimbulkan implikasi yang membahayakan (mudlarat) bagi kesehatan.
Alat/metode kontrasepsi yang
tersedia saat ini telah memenuhi kriteria-kriteria tersebut diatas, oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa KB secara substansial tidak
bertentangan dengan ajaran Islam bahkan merupakan salah satu bentuk
implementasi semangat ajaran Islam dalam rangka mewujudkan sebuah
kemashlahatan, yaitu menciptakan keluarga yang tangguh, mawardah,
sakinah dan penuh rahmah. Selain itu, kebolehan (mubah) hukum ber-KB,
dengan ketentuan-ketentuan seperti dijelaskan diatas, sudah menjadi
kesepakatan para ulama dalam forum-forum ke Islaman, baik pada tingkat
nasional maupun Internasional (ijma’al-majami).
Sumber: Drs.H. Aminudin Yakub,MA-Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat
No comments:
Post a Comment