Secara
bahasa, ath-thaharah maknanya ialah kesucian dan kebersihan dari segala
yang tercela, baik dhahir maupun batin (Lihat Syarah Shahih Muslim lin
Nawawi juz 3 hal. 455 dan Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi,
Al-Mubarakfuri jilid 1 hal. 18). Sedangkan makna ath-thaharah dalam
istilah fiqh ialah hilangnya perkara yang menghalangi sahnya shalat. Dan
perkara yang menghalangi sahnya shalat itu ialah hadats atau najis.
Sedangkan menghilangkan hadats atau najis itu dengan air atau debu.
(Lihat Al-Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Qudamah, jilid 1
hal. 21).
Hadats itu ialah kondisi seorang Muslim yang sedang batal wudlunya karena keluarnya sesuatu dari dua jalan (yaitu jalan kemaluan depan yang diistilahkan dengan qubul dan jalan kemaluan belakang yang diistilahkan dengan dubur), atau batalnya wudlu karena berhubungan badan antara suami dengan istri, yaitu ketika kemaluan pria telah masuk ke kemaluan wanita walaupun tidak keluar mani, maka batal pula wudlunya. Sehingga bila seseorang itu dikatakan berhadats, maknanya ialah bila dia telah batal wudlunya karena sebab-sebab tersebut.
Hadats itu ialah kondisi seorang Muslim yang sedang batal wudlunya karena keluarnya sesuatu dari dua jalan (yaitu jalan kemaluan depan yang diistilahkan dengan qubul dan jalan kemaluan belakang yang diistilahkan dengan dubur), atau batalnya wudlu karena berhubungan badan antara suami dengan istri, yaitu ketika kemaluan pria telah masuk ke kemaluan wanita walaupun tidak keluar mani, maka batal pula wudlunya. Sehingga bila seseorang itu dikatakan berhadats, maknanya ialah bila dia telah batal wudlunya karena sebab-sebab tersebut.
Jadi ath-thaharah itu menurut istilah fiqh maknanya ialah bila seorang Muslim telah bersih dari hadats dan najis sehingga secara dhahir dapat menunaikan shalat sebagaimana mestinya.
BEBERAPA KETENTUAN DI SEPUTAR HADATS
Istilah hadats telah dikenal para ahli fiqh yang diambil dari antara lain sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sebagaimana berikut ini:
Dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Tidak diterima shalatnya orang yang berhadats sehingga dia berwudlu.” Berkata seseorang dari Hadramaut: “Apakah yang dimaksud hadats itu wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab: “Ialah keluar angin atau kentut.” (HR. Bukhari dalam Kitab Shahihnya, Kitabul Wudlu’ bab La Tuqbalus Shalatu bi Ghairi Thahur hadits ke 135)
Istilah hadats telah dikenal para ahli fiqh yang diambil dari antara lain sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sebagaimana berikut ini:
Dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Tidak diterima shalatnya orang yang berhadats sehingga dia berwudlu.” Berkata seseorang dari Hadramaut: “Apakah yang dimaksud hadats itu wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab: “Ialah keluar angin atau kentut.” (HR. Bukhari dalam Kitab Shahihnya, Kitabul Wudlu’ bab La Tuqbalus Shalatu bi Ghairi Thahur hadits ke 135)
Ibnu
Hajar Al-Aqalani rahimahullah menerangkan: “Yang dimaukan dengan hadats
ini ialah apa saja yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur). Abu
Hurairah menafsirkan dengan secara khusus demikian adalah karena ingin
memberikan peringatan tentang terjadinya hadats yang paling ringan,
karena keluar angin atau ketut itu adalah hadats yang paling sering
terjadi ketika dalam shalat. Dan adapun jenis hadtas yang lainnya telah
diterangkan oleh para ulama, seperti menyentuh kemaluan, menyentuh
perempuan, muntah sepenuh mulut, berbekam. Bisa jadi Abu Hurairah
menerangkan demikian karena beliau tidak memandang hadats itu kecuali
karena sesuatu yang keluar dari dua jalan sehingga hal-hal yang
diterangkan para ulama tersebut tidak termasuk dalam perkara hadats.
Demikian pula Al-Bukhari sependapat dengan Abu Hurairah.” (Fathul Bari,
Ibnu Hajar al-Asqalani, jilid 1 hal. 235)
Para ulama menerangkan bahwa hadats itu ada dua:
1). Al-Hadatsul Asghar, yakni hadats kecil yang meliputi segenap pembatal wudlu, yang hanya dihilangkan dengan berwudlu saja.
2). Al-Hadatsul Akbar, yakni hadats besar yang meliputi segenap pembatal wudlu yang harus dihilangkan dengan mandi yang disertai wudlu padanya dan mandi yang demikian ini dinamakan mandi junub.
Tetapi kemudian yang masyhur, hadats itu ialah pembatal-pembatal wudlu yang hanya dihilangkan dengan berwudlu saja atau yang dinamakan al-hadatsul ashgar (hadats kecil). Sedangkan al-hadatsul akbar sering disebut junub, haidl atau nifas. (Lihat Mushannaf, Al-Imam Abdurrazaq bi Hammam As-Shan`ani, jilid 1 hal. 138 bab Al-Wudlu’ minal Hadats).
Para ulama menerangkan bahwa hadats itu ada dua:
1). Al-Hadatsul Asghar, yakni hadats kecil yang meliputi segenap pembatal wudlu, yang hanya dihilangkan dengan berwudlu saja.
2). Al-Hadatsul Akbar, yakni hadats besar yang meliputi segenap pembatal wudlu yang harus dihilangkan dengan mandi yang disertai wudlu padanya dan mandi yang demikian ini dinamakan mandi junub.
Tetapi kemudian yang masyhur, hadats itu ialah pembatal-pembatal wudlu yang hanya dihilangkan dengan berwudlu saja atau yang dinamakan al-hadatsul ashgar (hadats kecil). Sedangkan al-hadatsul akbar sering disebut junub, haidl atau nifas. (Lihat Mushannaf, Al-Imam Abdurrazaq bi Hammam As-Shan`ani, jilid 1 hal. 138 bab Al-Wudlu’ minal Hadats).
KEUTAMAAN THAHARAH
Setelah kita mengerti perkara najis dalam pembahasan yang lalu dan perkara hadats, maka perlu juga kita mengerti keutamaan ath-thaharah di sisi Allah Ta`ala terutama dalam kaitannya dengan ibadah kepada Allah Ta`ala. Kita dapati antara lain firman Allah di dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang banyak bertaubat dan orang-orang yang melakukan amalan thaharah (bersuci).” (Al-Baqarah: 222)
Setelah kita mengerti perkara najis dalam pembahasan yang lalu dan perkara hadats, maka perlu juga kita mengerti keutamaan ath-thaharah di sisi Allah Ta`ala terutama dalam kaitannya dengan ibadah kepada Allah Ta`ala. Kita dapati antara lain firman Allah di dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang banyak bertaubat dan orang-orang yang melakukan amalan thaharah (bersuci).” (Al-Baqarah: 222)
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Berthaharah itu (yakni bersuci itu) adalah separoh dari iman.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, Kitabut Thaharah hadits ke 223 dari Abi Malik Al-Asy’ari radliyallahu `anhu).
“Berthaharah itu (yakni bersuci itu) adalah separoh dari iman.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, Kitabut Thaharah hadits ke 223 dari Abi Malik Al-Asy’ari radliyallahu `anhu).
Dan beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Kuncinya shalat itu ialah berthaharah, dan pengharamannya (yakni mulai diharamkan berbicara dalam shalat) ialah takbir (yaitu takbir permulaan shalat atau dinamakan takbiratul ihram), dan penghalalannya ialah salam (yakni halal kembali berbicara setelah berakhirnya shalat dengan mengucapkan salam).” (HR. Tirmidzi dalam Sunannya dari Ali. Abu Isa (yakni At-Tirmidzi) berkata: “Hadits ini paling shahih dan paling baik dalam bab ini.”).
“Kuncinya shalat itu ialah berthaharah, dan pengharamannya (yakni mulai diharamkan berbicara dalam shalat) ialah takbir (yaitu takbir permulaan shalat atau dinamakan takbiratul ihram), dan penghalalannya ialah salam (yakni halal kembali berbicara setelah berakhirnya shalat dengan mengucapkan salam).” (HR. Tirmidzi dalam Sunannya dari Ali. Abu Isa (yakni At-Tirmidzi) berkata: “Hadits ini paling shahih dan paling baik dalam bab ini.”).
BENDA-BENDA YANG TIDAK TERGOLONG NAJIS
Kita telah membahas sebelum ini satu kaidah bahwa hukum asal segala benda itu adalah tidak najis kecuali bila ada keterangan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits bahwa benda itu najis, barulah kita menganggapnya najis. Tetapi dalam pembahasan ini perlu pembaca sekalian memahami bahwa ada beberapa benda yang sesungguhnya tidak najis, tetapi oleh banyak orang dianggap najis. Benda-benda yang tidak tergolong najis itu ialah:
Kita telah membahas sebelum ini satu kaidah bahwa hukum asal segala benda itu adalah tidak najis kecuali bila ada keterangan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits bahwa benda itu najis, barulah kita menganggapnya najis. Tetapi dalam pembahasan ini perlu pembaca sekalian memahami bahwa ada beberapa benda yang sesungguhnya tidak najis, tetapi oleh banyak orang dianggap najis. Benda-benda yang tidak tergolong najis itu ialah:
1).
Air mani manusia Muslim. Air mani merupakan pengecualian dari ketentuan
tentang najisnya segala perkara yang keluar dari dua jalan, walaupun
keluarnya mani menyebabkan batalnya wudlu. Yang demikian ini karena
adanya beberapa riwayat Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu `anha tentang
tidak najisnya air mani seorang Muslim. Aisyah menyatakan:
“Sungguh aku pernah melihat mani kering di baju Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan aku mengeriknya dalam keadaan kering itu dengan kukuku.” (HR. Muslim dalam Shahihnya Kitabut Thaharah bab Hukmul Mani hadits ke 290 dari Abdillah bin Syihab Al-Khaulani).
“Sungguh aku pernah melihat mani kering di baju Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan aku mengeriknya dalam keadaan kering itu dengan kukuku.” (HR. Muslim dalam Shahihnya Kitabut Thaharah bab Hukmul Mani hadits ke 290 dari Abdillah bin Syihab Al-Khaulani).
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah menerangkan: “Dan banyak dari para ulama
berpendapat bahwa mani itu adalah suci. Telah diriwayatkan yang demikian
ini adalah pendapatnya Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ibnu
Umar, Aisyah, Daud (yakni Adl-Dlahiri), Ahmad (yakni: bin Hanbal) dalam
riwayat yang shahih dari dua riwayat tentang pendapat beliau, dan yang
demikian ini pula merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i dan juga pendapat
para Ahli Hadits.” (Syarah Shahih Muslim lin Nawawi juz 3 hal. 530).
2).
Kotoran dan air kencing hewan yang dagingnya halal dimakan. Seperti
kotoran dan kencing kambing, sapi, unta dan lain-lainnya. Karena
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan kepada
orang-orang Uraniyyin (yakni orang-orang dari suku Urainah) untuk
berobat dari penyakit perut yang dideritanya dengan minum air kencing
unta dan air susunya. Demikian diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam
Shahih Bukhari Kitabul Wudlu’ bab Abwabil Ibil wad Dawab hadits ke 233.
Juga Anas meriwayatkan sebagaimana dalam Shahih Bukhari hadits ke 234
bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di tempat tambatan
kambing sebelum dibangunnya masjid beliau di Madinah. Maka dua riwayat
tersebut menunjukkan bahwa kencing unta bukanlah benda najis, sebab
kalau ia adalah benda najis, tidak mungkin dijadikan obat oleh beliau,
karena beliau tidak akan menjadikan sesuatu yang najis atau haram untuk
dijadikan obat. Demikian pula tentang air kencing dan kotoran kambing,
bila dianggap najis maka tidak mungkin beliau shalat di tempat tambatan
kambing. Cukuplah alasan menunjukkan tidak najisnya kotoran dan air
kencing kambing. Sehingga dipahami dari dua riwayat tersebut bahwa hewan
yang oleh Allah Ta`ala dagingnya halal dimakan, maka air kencing dan
kotorannya tidaklah najis.” (Lihat Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah jilid 21
hal. 534 – 587).
3).
Bekas air mandi dan air wudlu seorang Muslim pria maupun wanita
tidaklah najis. Demikian pula bersalaman dengan seorang Muslim yang
sedang dalam keadaan junub, tidak pula najis. Karena adanya penegasan
yang demikian dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam:
“Hanyalah seorang Muslim itu tidaklah najis.” (HR. Muslim dalam Shahihnya Kitabul Haidl bab Ad-Dalil `ala `Annal Muslima la Yanjus dari Hudzaifah hadits ke 372)
“Hanyalah seorang Muslim itu tidaklah najis.” (HR. Muslim dalam Shahihnya Kitabul Haidl bab Ad-Dalil `ala `Annal Muslima la Yanjus dari Hudzaifah hadits ke 372)
Dari Ibni Abbas radliyallahu `anhuma, dia berkata: Bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mandi dengan air bekas mandinya Maimunah.” (HR. Muslim dalam Shahihnya Kitabul Haidl hadits ke 323).
4).
Darah atau nanah yang keluar dari tubuh seorang Muslim dan darah itu
bukan keluar dari qubul ataupun dubur, maka darah ini juga tidak
teranggap najis. Karena telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya
bahwa seorang shahabat Nabi dari kalangan Anshar ketika sedang menjaga
suatu lembah dari serangan musuh, dia menyibukkan diri dengan shalat.
Ketika itu dia terkena panah musuh dalam keadaan shalat dan mengalirlah
darah dari luka yang dideritanya. Shahabi tersebut tidak membatalkan
shalatnya, yang berarti menunjukkan bahwa darah yang keluar dari selain
dua jalan, tidaklah dianggap najis dan tidak membatalkan wudlu. (Lihat
Sunan Abi Dawud Kitabut Thaharah bab Wudlu’ minad Dam hadits ke 198 dari
Jabir radliyallahu `anhu. Juga lihat Syarhus Sunnah Al-Baghawi Kitabul
Haidl bab Man Shalatahu Addam riwayat ke 330 jilid 1 hal. 425 – 426).
5).
Sesuatu yang keluar dari mulut karena muntah atau pun ingus atau ludah
seorang Muslim juga tidak dianggap najis. Al-Imam Ibnu Hazmin
rahimahullah menerangkan: “Alasan bagi kami bahwa tidak ada kewajiban
wudlu ketika terkena perkara-perkara tersebut ialah karena tidak ada
keterangan dalam Al-Qur’an dan tidak pula dalam hadits. Bahkan tidak ada
dalam ijma’ (kesepakatan para shahabat Nabi) yang mewajibkan orang
untuk berwudlu karenanya.” (Al-Muhalla, Ibnu Hazm, jilid 1 hal. 236
masalah ke 169)
CARA BERTHAHARAH DARI NAJIS ATAU PUN HADATS
Alat berthaharah (yakni bersuci) dari najis atau hadats itu ialah dengan air yang suci dari najis. Sedangkan air yang suci dari najis itu ialah air yang tidak terdapat padanya warna atau pun bau najis. Allah Ta`ala menegaskan tentang kedudukan air sebagai alat untuk bersuci dari najis dan hadats:
“Dan Kami turunkan air dari langit sebagai alat bersuci.” (Al-Furqan: 48)
Juga firman-Nya:
“Dan Allah turunkan air dari langit kepada kalian agar Dia mensucikan kalian dengannya dari najis dan agar menghilangkan was-was syaithan.” (Al-Anfal: 11)
“Dan Allah turunkan air dari langit kepada kalian agar Dia mensucikan kalian dengannya dari najis dan agar menghilangkan was-was syaithan.” (Al-Anfal: 11)
Diriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang masalah air untuk bersuci ini:
Dari Rasyid bin Sa’ad dari Abu Umamah dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam beliau bersabda: “Sesungguhnya air itu sifatnya suci dan mensucikan kecuali bila berubah baunya, atau rasanya, atau warnanya dengan benda najis yang jatuh ke dalamnya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra jilid 1 hal. 260).
Dari Rasyid bin Sa’ad dari Abu Umamah dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam beliau bersabda: “Sesungguhnya air itu sifatnya suci dan mensucikan kecuali bila berubah baunya, atau rasanya, atau warnanya dengan benda najis yang jatuh ke dalamnya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra jilid 1 hal. 260).
Maka
dengan demikian, air itu tetap pada fungsinya sebagai alat berthaharah
dari najis dan hadats selama tidak ada bau benda najis padanya, atau
selama tidak ada padanya warna dari warna benda najis.
Adapun cara berthaharah dari benda najis itu ialah dengan mengalirkan air pada bagian yang terkena najis hingga hilang bekas-bekas najis padanya. Dan bekas-bekas najis itu ialah bau, warna dan rasanya. Hal ini dicontohkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam suatu peristiwa berikut ini:
(hadits 8)
Dari Anas, dia berkata: Telah datang seorang Arab dari pegunungan, kemudian dia kencing di salah satu pojok masjid. Maka orang-orang pun menghardiknya, dan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melarang mereka untuk menghardiknya. Maka ketika orang gunung itu telah selesai dari kencingnya, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan untuk diambilkan seember air dan kemudian air itu dituangkan pada tempat yang dikencingi oleh orang gunung itu.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Adapun cara berthaharah dari benda najis itu ialah dengan mengalirkan air pada bagian yang terkena najis hingga hilang bekas-bekas najis padanya. Dan bekas-bekas najis itu ialah bau, warna dan rasanya. Hal ini dicontohkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam suatu peristiwa berikut ini:
(hadits 8)
Dari Anas, dia berkata: Telah datang seorang Arab dari pegunungan, kemudian dia kencing di salah satu pojok masjid. Maka orang-orang pun menghardiknya, dan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melarang mereka untuk menghardiknya. Maka ketika orang gunung itu telah selesai dari kencingnya, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan untuk diambilkan seember air dan kemudian air itu dituangkan pada tempat yang dikencingi oleh orang gunung itu.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam menuntunkan cara membersihkan najis
dengan cara menyiramkan air padanya adalah karena masjid beliau waktu
itu lantainya berupa tanah berpasir, sehingga dengan disiram air
sebanyak itu, akan hilang bau dan bekas najis yang lainnya. Adapun bila
air kencing itu mengena pada lantai, maka air kencing yang membasahi
lantai itu haruslah dilap dulu dengan lap kering dan tidak digosokkan
lap itu di lantai tersebut pada tempat di sekitarnya agar najis itu
tidak menyebar pada tempat yang lebih luas. Setelah itu lap yang dipakai
mengeringkan lantai dari air kencing atau kotoran atau pun najis yang
lainnya itu dibasuh dengan air bersih sehingga benar-benar diyakini
bahwa najis yang ada pada lap itu telah tiada karena bekas-bekasnya
telah hilang. Kemudian lantai itu pun dibasuh lagi dengan lap basah yang
telah suci dari najis, kemudian lap itu dibasuh lagi dengan air bersih,
berulang-ulang dua atau tiga kali sehingga diyakini bahwa bekas-bekas
najis di lantai itu telah hilang. Demikian pula mencuci kain yang
terkena najis, dengan cara mencucinya dengan air bersih sampai
bekas-bekas najisnya hilang. Tetapi bila sudah dicuci dengan
sungguh-sungguh kain itu namun sebagian bekas najisnya masih belum
hilang, maka yang demikian ini tidaklah mengapa. Hal ini telah
diterangkan dalam riwayat berikut ini:
Dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa Khaulah bintu Yasar pernah mendatangi Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Maka dia pun bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki baju kecuali hanya sepotong saja yang aku pakai ketika dalam keadaan haidl, maka bagaimana pula yang harus aku lakukan?” Beliau menjawab: “Apabila telah berhenti haidl-mu, maka cucilah baju itu.” Khaulah bertanya lagi: “Bagaimana kalau bekas darahnya tidak bisa hilang dengan dicuci?” Beliau menjawab: “Cukup bagimu dengan dicucinya darah yang mengena baju itu. dan tidak mengapa bekas darah haidl yang tidak bisa hilang itu.” (HR. Abu Dawud Kitabut Thaharah bab Keterangan tentang Wanita yang Mencuci Bajunya yang Dipakainya ketika Haidl, hadits no. 365)
Dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa Khaulah bintu Yasar pernah mendatangi Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Maka dia pun bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki baju kecuali hanya sepotong saja yang aku pakai ketika dalam keadaan haidl, maka bagaimana pula yang harus aku lakukan?” Beliau menjawab: “Apabila telah berhenti haidl-mu, maka cucilah baju itu.” Khaulah bertanya lagi: “Bagaimana kalau bekas darahnya tidak bisa hilang dengan dicuci?” Beliau menjawab: “Cukup bagimu dengan dicucinya darah yang mengena baju itu. dan tidak mengapa bekas darah haidl yang tidak bisa hilang itu.” (HR. Abu Dawud Kitabut Thaharah bab Keterangan tentang Wanita yang Mencuci Bajunya yang Dipakainya ketika Haidl, hadits no. 365)
Sedangkan
cara bersuci dari hadats kecil ialah dengan berwudlu, dan cara bersuci
dari hadats besar ialah dengan mandi junub, yang dinamakan juga mandi
wajib.
MENCUCI BEJANA YANG DIJILAT ANJING
Islam memberi tuntunan dalam perkara jilatan anjing ini dengan cara pencucian yang khusus. Yaitu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berikut ini:
“Sucinya bejana tempat air kalian apabila dijilat anjing padanya, maka cucilah bejana itu dengan air sebanyak tujuh kali, didahului dengan menggosoknya dengan tanah.” (HR. Muslim hadits ke 279 / 91 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu)
Islam memberi tuntunan dalam perkara jilatan anjing ini dengan cara pencucian yang khusus. Yaitu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berikut ini:
“Sucinya bejana tempat air kalian apabila dijilat anjing padanya, maka cucilah bejana itu dengan air sebanyak tujuh kali, didahului dengan menggosoknya dengan tanah.” (HR. Muslim hadits ke 279 / 91 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu)
Tuntunan yang demikian ini ialah bila anjing menjilat tempat air. Al-Imam An-Nawawi menerangkan: “Para
ahli bahasa Arab menerangkan: Kalimat di hadits ini maknanya ialah:
Apabila anjing itu minum dengan menjilat air menggunakan ujung
lidahnya.” Abu Zaid berkata: “Yang demikian itu apabila anjing itu
menjilat minuman kita, dan pada minuman kita, atau ia minum dari minuman
kita.” (Syarah Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, juz 3 hal. 519)
Adapun
bila anjing itu menjilat selain tempat air, maka cara mencucinya sama
dengan cara mencuci benda najis yang lainnya, yaitu sampai bekas
najisnya telah hilang. Dan bila dia menjilat tanah, maka tidak perlu
adanya pencucian karena najisnya telah gugur dengan tanah itu. (Lihat
Al-Muhalla, Ibnu Hazm, jilid 1 hal. 120 masalah ke 127)
Dan mencuci bejana tempat air yang dijilat anjing tidak dapat digantikan dengan cairan sabun atau cairan pengganti lainnya. Karena cara pencucian yang dituntunkan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah perkara ibadah, tidak dapat digantikan dengan cara lainnya yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Dan mencuci bejana tempat air yang dijilat anjing tidak dapat digantikan dengan cairan sabun atau cairan pengganti lainnya. Karena cara pencucian yang dituntunkan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah perkara ibadah, tidak dapat digantikan dengan cara lainnya yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
PENUTUP
Demikianlah tuntunan Islam dalam perkara at-thaharah. Tuntunan tersebut semakin menunjukkan betapa Islam itu adalah agama yang diajarkan dengan mencocoki fitrah manusia. Dan janganlah kita mempertentangkan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits ini dengan akal fikiran yang amat terbatas kemampuannya. Karena perkara at-thaharah ini adalah termasuk perkara ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta`ala.
DAFTAR PUSTAKA:Demikianlah tuntunan Islam dalam perkara at-thaharah. Tuntunan tersebut semakin menunjukkan betapa Islam itu adalah agama yang diajarkan dengan mencocoki fitrah manusia. Dan janganlah kita mempertentangkan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits ini dengan akal fikiran yang amat terbatas kemampuannya. Karena perkara at-thaharah ini adalah termasuk perkara ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta`ala.
1). Al-Qur’anul Karim
2). Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
3). Talkhisul Habir, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Mu`assasah Qurtubah, th. 1416 H / 1995 M.
4). Shahih Muslim bi Syarah An-Nawawi, penerbit Darul Khair, Damaskus – Beirut, cetakan pertama, th. 1414 H / 1994 M.
5). Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Al-Imam Abu Zakaria Muhyidin bin Syaraf An-Nawawi, Darul Fikr, 1414 H / 1994 M.
6). Al-Hawil Kabir, Al-Imam Abil Hasan Al-Mawardi, Darul Fikr, th. 1414 H / 1994 M.
7). Al-Mughni fi Fiqih Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abi Muhammad ibnu Qudamah, Darul Fikr, th. 1405 H / 1985 M.
8). Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, Mujamma’ Al-Malik Fahad, Al-Madinah Al-Munawarrah, th. 1416 H / 1995 M.
9). Sunan Abu Dawud, Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani, Darur Rayyan lit Turats, th. 1408 H / 1988 M.
10). Al-Mushannaf, Al-Imam Abdurrazaq bin Hammam As-Shan`ani, Al-Majlisul `Ilmi, Beirut – Libanon, tanpa tahun.
11). Sunan At-Tirmidzi, Al-Imam Abu Isa At-Tirmidzi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, th. 1356 H / 1937 M.
12). Syarhus Sunnah, Al-Imam Al-Baghawi, Darul Fikr, th. 1414 H / 1994 M.
13). Al-Muhalla, Al-Imam Ibnu Hazm, Darul Fikr, tanpa tahun.
14). As-Sunanul Kubra, Al-Imam Al-Baihaqi, Darul Fikr, tanpa tahun.
No comments:
Post a Comment