MOHON MAAF BLOG SEDANG DALAM PENYETELAN TEMPLATE AGAR KAMI BISA LEBIH PROFESIONAL LAGI DALAM MEMBERIKAN INFO YANG ANDA BUTUHKAN, MOHON BERSABAR INI TIDAK BERLANGSUNG LAMA,TERIMA KASIH ATAS PENGERTIANNYA...
English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Kafaah

Pernihakan adalah peristiwa yang sakral dan jenjang yang menentukan masa depan seseorang. Bila niatnya didorong motivasi agama, maka ada jaminan untuk meraih keluarga “ Sakina, Mawaddah, Warahmah “ seperti yang diidam-idamkan setiap insan. Maka rumah tangga yang dibangunnya pun bagaikan bunyi sebuah ungkapan puitis “ Baiti Jannati “. Namun, bila gagal, maka pengaruh dan implikasinya terhadap kehidupan seseorang akan terasa menyakitkan. Karena itu bagi siapapun, perlu memahami persolan nikah sejak dini.

Didalam agama islam ada istilah Kafaah, yaitu sesuatu derajat atau kemuliaan yang jika tidak ada pada calon pria kemuliaan tersebut maka akan menyebabkan jatuh derajatnya si istri atau merupakan aib bagi keluarganya. Dan hal itu disaratkan umumnya bukan untuk keabsahan suatu pernikahan akan tetapi untuk menjaga derajat atau kasta seseorang dan hal itu menjadi hak calon istri dan wali nikahnya sehingga jika keduanya menyetujui kawin dengan calon suami yang tidak sederajat, maka sah nikahnya.


Kafaah ada 6 perkara dan hal itu disyaratkan ketika terjadi proses aqad. Adapun 6 perkara kafaah tersebut adalah sebagai berikut : Agama, Nasab, Iffah ( terjaganya seseorang dari maksiat ), Pekerjaan, Kemerdekaan, dan Tidak Ada Aib.

Disini akan dikupas lebih dalam lagi mengenai Kafaah Nasab, seseorang wanita dari keturunan arab tidak sederajat dengan laki-laki bukan bangsa arab. Bahkan bangsa arab selain keturunan Rasulullah SAW tidak sederajat dengan wanita keturunan Rasulullah SAW. Adapun yang terjadi bahwa putrid-putri Rasul dikawinkan dengan suami-suami mereka, seperti Sayyidina Usman bin Affan suami dari sayyidatina Ruqoyyah, dan Ummi Kulsum atau Ash bin Robi’ suami dari sayyidatina Zainab radiallahu’anha, maka para ulama berkata ( diantara mereka imam Khotib Assyarbini dalam kitab Mughnil Muhtaj sarah Minhaj ) bahwa hal itu di karenakan darurat untuk menjaga keutuhan keturunan mereka, sebagaimana diperbolehkan bagi Nabi Adam alaihis Salam menikahkan putrinya dengan putranya, dan juga karena kafaah itu milik calon istri dan walinya dan Rasulullah setuju, begitu pula putrid-putri beliau radiallahu anhum.

Kesimpulannya bahwa nasab seseorang merupakan ukuran kasta dan derajat seseorang dalam menikah. Dalam madzhab imam Syafi’i sebagaimana tertera dalam kitab-kitab feqih imam Syafi’i walaupun tidak disyaratkan sebagian madzhab seperti madzhab imam Malik radiallahu anhu. Sehingga tidak boleh bagi seorang yang bermadzhab Syafi’i mengingkari apa yang telah ditetapkan oleh imam mereka dengan ijtihad beliau. Dan bagi yang bukan bermadzhab Syafi’i juga tidak boleh mengingkari sesuatu yang telah di tetapkan oleh seorang mujtahid, apalagi jika dia muqollid karena siapa dia dan siapa Imam Syafi’i radiallahu anhu, akan tetapi jika si wanita dari bangsa arab atau dari keturunan Rasul tersebut menggugurkan kafaahnya begitu pula walinya maka sah pernikahan tersebut dan tidak boleh bagi siapa pun untuk menentangnya.

Sedangkan dasar Imam Syafi’i dalam kafaah nasab adalah sabda baginda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :



“ sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan sayyidina Ismail dan memilih Qurays dari keturunan Kinanah dan memilih Bani Hasyim dari keturunan Kinanah dan Allah memilihku dari Bani Hasyim “.

Dan juga hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Syafi’i radliallahu anhu yang berbunyi

Hadits itulah yang dijadikan dasar adanya kafaah nasab oleh Imam Syafi’i radliallahu anhu.

Hak Kafaah Milik Siapa ?

Hak kafaah atau hak untuk menggugurkan derajat atau kasta sehingga suatu pernikahan dihukumi sah walaupun tidak sederajat adalah milik dua orang, yaitu milik calon istri dan milik wali nikahnya yang paling dekat, maka jika keduanya menyetujui laki-laki tersebut sebagai calon suami maka dihukumi sah pernikahan tersebut.

Dan jika wali nikahnya yang paling dekat lebih dari satu orang misalnya saudara/paman maka disyaratkan persetujuan semuanya, sehingga jika pernikahan tersebut disetujui sebagian wali nikah dan yang lain tidak menyetujuinya maka tidak sah pernikahan tersebut.

Misalnya, walinya yang paling dekat adalah saudaranya, karena ayah dan kakek wanita itu sudah meninggal, sedangkah saudaranya ada tiga orang, yang satu menyetujui dan yang dua tidak, maka tidak sah pernikahannya jadi harus dengan persetujuan tiga saudaranya tersebut.

Sumber :

Bagaimanakah Anda Menikah? Oleh ustad Segaf bin Hasan Baharun

1 comment:

  1. 10 Kasus wanita Ahlulbayt menikah dengan non ahlulbayt

    1. Ruqayyah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Utsman bin Affan.
    2. Ummu Kultsum binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Utsman bin Affan.
    3. Zainab binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Abul ‘Ash.
    4. Ummu Kultsum bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Umar bin La-Khatthab.
    5. Sukainah binti Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Zaid bin Umar bin Utsman bin Affan.
    6. Fathimah binti Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan.
    7. Fathimah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Al-Mundzir bin Zubair bin Al-Awam.
    8. Idah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Nuh bin Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah.
    9. Fathimah binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Ayyub bin Maslamah Al-Makhzumi.
    10. Ummul Qasim binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Marwan bin Aban bin Utsman bin Affan.

    Lisanul hal afshah min lisanil maqaal (Tindakan lebih fasih dari ucapan). Hanya ada dua pilihan; kasus itu adalah kesalahan yang dilakukan oleh leluhur Ahlulbayt, atau orang-orang yang salah memahami ayat2 dan hadits2.

    ReplyDelete