1. Makna Haid
Menurut bahasa, haid
berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara’ ialah darah
yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan
pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan
oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia
darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan
iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.
2. Hikmah Haid
Adapun
hikmahnya, bahwa karena janin yang ada di dalam kandungan ibu tidak
dapat memakan sebagaimana yang dimakan oleh anak yang berada di luar
kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu
makanan untuknya, maka Allah Ta’ala telah menjadikan pada diri kaum
wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi
janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai
kepada tubuh janin melalui tali pusar, dimana darah tersebut merasuk
melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah
sebaik-baik Pencipta.
Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila
seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi,
kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit yang
haid, terutama pada awal masa penyusuan.
USIA DAN MASA HAID
1. Usia Haid
Usia
haid biasanya antara 12 sampai dengan 50 tahun. Dan kemungkinan seorang
wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih
mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada
kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.
Para ulama,
rahimahullah, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi
usia haid, dimana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau
sesudah usia tersebut ?
Ad-Darimi, setelah menyebutkan perbedaan
pendapat dalam masalah ini, mengatakan : “Hal ini semua, menurut saya,
keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun
adanya, dalam kondisi bagaimana pun, dan pada usia berapa pun, darah
tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha
Tahu”.
Pendapat Ad-Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan pun seorang wanita mendapatkan
darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun
atau di atas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum
haid pada keberadaan darah tersebut, serta tidak memberikan batasan
usia tertentu. Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan
darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal
tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.
2. Masa Haid
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu
Al-Mundzir mengatakan : “Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid
tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.
Pendapat
ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas, dan menjadi pilihan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah
dan logika.
Dalil pertama
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya
: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah
suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum
mereka suci …”.
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai
batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam,
ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa
illat hukumnya adalah haid, yakni ada tidaknya. Jadi, jika ada haid
berlakulah hukum itu dan jika telah suci tidak berlaku lagi hukum-hukum
haid tersebut.
Dalil kedua
Diriwayatkan dalam Shahih
Muslim Juz 4, hal.30 bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram untuk
umrah.
“Artinya : Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”.
Kata Aisyah : “Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”.
Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah.
“Artinya : Tunggulah. Jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan’im”.
Dalam
hadits ini, yang dijadikan Nabi sebagai batas akhir larangan adalah
kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum
tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil ketiga
Bahwa
pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha dalam masalah ini
tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, padahal ini perlu, bahkan amat mendesak untuk
dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib
dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah,
niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada
setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang
berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum
lainnya. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang
shalat: jumlah bilangan dan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan
sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya, presentasenya dan
siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa: waktu dan masanya; tentang
haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan, minum,
tidur, jima’ , duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat, sampai jumlah
bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara
lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan
agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum
Mu’minin.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : ….. Dan kami turunkan kepadamu Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu ….”.
“Artinya
: ….. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
mebenarkan yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu ….”.
Oleh
karena pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah
dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka nyatalah bahwa hal
itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan
patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum
syara’ menurut ada atau tidaknya.
Dalil ini -yakni suatu hukum
tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah- berguna
bagi Anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya,
karena hukum-hukum syar’i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan
dalil syar’i dari Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wa sallam atau ijma’ yang diketahui, atau qiyas yang shahih.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan
: “Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum
dalam Kitab dan Sunnah, yaitu sebuah haid. Allah tidak menentukan batas
minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci diantara dua haid. Padahal
umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya.
Bahasa pun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan lainnya.
Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia
telah menyalahi Kitab dan Sunnah”.
Dalil keempat
Logika
atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan
‘illat haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran
pun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama,
antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara
hari keenam belas dengan hari kelima belas, atau antara hari kedelapan
belas dengan hari ketujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah
kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat ‘illat yang sama. Jika
demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum diantara kedua hari
itu, padahal keduanya sama dalam ‘illat ? Bukankah hal ini bertentangan
dengan qiyas yang benar ? Bukankah menurut qiyas yang benar bahwa kedua
hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam ‘illat ?
Dalil kelima
Adanya
perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan
batasan, menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus
dijadikan patokan. Namun, semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang
bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut
diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi
perselisihan pendapat adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika ternyata
pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid
adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa
setiap kali wanita melihat darah alami, bukan disebabkan luka atau
lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau
usia. Kecuali apabila keluarnya darah itu terus menerus tanpa henti atau
berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka
darah tersebut adalah darah istihadhah. Dan akan dijelaskan, Inysa
Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan : “Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari
rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah
itu istihadhah”.
Kata beliau pula : “Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui sebagai darah penyakit atau karena luka”.
Pendapat
ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga
merupakan pendapat yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih
mudah diamalkan dan diterapkan daripada pendapat mereka yang memberikan
batasan. Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut diterima
karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama Islam, yaitu : mudah dan
gampang.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya
: Sungguh agama itu mudah. Dan tidak seorangpun mempersulit dalam
agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah lurus, sederhana dan
sebarkan kabar gembira”.
Dan diantara ahlak Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahwa jika beliau diminta memilih antara dua perkara,
maka dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.
3. Haid Wanita Hamil
Pada
umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan hamil akan berhenti haid .
Kata Imam Ahmad, rahimahullah, “Kaum wanita dapat mengetahui adanya
kehamilan dengan berhentinya haid”.
Apabila wanita hamil
mengeluarkan darah sesaat sebelum kelahiran dengan disertai rasa sakit,
maka darah tersebut adalah darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh hari
sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit,
maka darah itu bukan barah nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk darah
haid yang berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor
yang hukumnya tidak seperti hukum-hukum haid ? Ada perbedaan pendapat
di antara para ulama dalam masalah ini.
Dan pendapat yang benar,
bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut
kebiasaan waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang terjadi pada
wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai
darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al-Qur’an maupun Sunnah yang
menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil.
Inilah
madzhab Imam Malik dan Asy-Syafi’i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al-Ikhtiyarat : “Dan dinyatakan
oleh Al-Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam
Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat
ini”.
Dengan demikian, berlakulah pada haid wanita hamil apa yang
juga berlaku pada haid wanita tidak hamil, kecuali dalam dua masalah :
1.
Talak. Diharamkan mentalak wanita tidak hamil dalam keadaan haid,
tetapi tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab, talak dalam
keadaan haid terhadap wanita tidak hamil menyalahi firman Allah Ta’ala.
“Artinya : ….Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat iddahnya ….”.
Adapun
mentalak wanita hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah.
Sebab, siapa yang mentalak wanita hamil berarti ia mentalaknya pada saat
dapat menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid ataupun suci,
karena masa iddahnya dengan masa kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan
mentalak wanita hamil sekalipun setelah melakukan jima’ , dan berbeda
hukumnya dengan wanita tidak hamil.
2. Iddah. Bagi wanita hamil
iddahnya berakhir dengan melahirkan, meski pernah haid ketika hamil
ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.
Disalin
dari buku Risalah Fid Dimaa’ Ath-Thabii’iyah Lin Nisaa’. Penulis Syaikh
Muhammad bin Shaleh Al-’Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan
Wanita hal. 9-20. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul
Haq Jakarta
Sumber Makna Haid Dan Hikmahnya, Usia Dan Masa Haid : http://www.salaf.web.id
No comments:
Post a Comment